Laman

Rabu, 28 Oktober 2009

Absolutisme Ulama

Di sadari atau tidak, mudahnya penerbitan fatwa-fatwa yang menyangkut masalah haram halal terhadap sesuatu yang berkembang baru di masyarakat sekarang ini lebih disebabkan oleh dampak kebebasan yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan seseorang. Kebebasan itu telah merasuk pada setiap lapisan masyarakat dalam berbagai segi kehidupan hingga mampu menyentuh pada tatanan yang sakral sekalipun, baik itu budaya yang berisi norma-norma luhur dan tak terkecuali agama.

Rendahnya kepedulian pemerintah terhadap nasib bangsa dan generasi mendatang, kekurang perhatian dan perlindungan terhadap rakyat juga menjadi faktor pendorong kebebasan baru ulama dalam berfatwa.

Masyarakat terutama pihak orang tua yang semakin resah terhadap perkembangan dunia yang mempengaruhi tindakan-tindakan anak tidak bisa lagi mempercayai pemerintah untuk menangani, hingga akhirnya kembalilah mereka pada ajaran agama dalam hal ini para ulama-lah yang memegang kekuasaan atas kendali itu .

Namun permasalahannya adalah tidak semua ulama rupanya mampu melihat lebih dalam terhadap pokok permasalahan yang sebenarnya. Kebijakan mereka yang hanya berlandaskan pada satu sudut pandang adalah kurang bijaksana.

Ada kecenderungan ketika ulama mengeluarkan fatwa hanya karena pengaruh psikologi dalam diri ulama tersebut, mereka seolah-olah sudah menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam ajaran agama yang berakibat pada kesombongan. Begitu mudah mengklaim haram atau halal secara sepihak yang kadangkala mengabaikan hak asasi yang dimiliki manusia. Bahkan kadang kekerasanpun tiba-tiba menjadi halal manakala ulama sudah memutuskannya.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketika ternyata mereka sebenarnya belum menguasai benar tentang hakikat agama itu sendiri. Ketika hal itu terjadi, segala keputusan hanya didasarkan pada nafsu belaka.

Hal-hal seperti itu banyak terjadi pada abad pertengahan ketika para petinggi agama duduk sejajar dengan raja. Semua yang tidak sependapat dengan diri mereka akan dianggap sebagai bid’ah. Ini terjadi di hampir semua agama dan negara.

Adanya kasus Galileo galilei, adanya kasus-kasus di kerajaan-kerajaan timur dulu yang memfatwakan bahwa seorang raja adalah titisan dewa, hingga kasus yang paling termasyhur dalam sejarah Islam di Timur tengah yaitu menghukum mati seorang cendikiawan muslim sufi Al Hallaj yang di klaim sebagai penganut ajaran sesat yang kemudian terulang kembali oleh kasus Siti Jenar di Demak hingga yang terakhir kasus Ahmadiyah .

Khusus untuk di Indonesia, ada indikasi kembalinya agama era sekarang ke zaman itu. Faktor ‘kekosongan kekuasaan’ yang menyebabkan masyarakat kehilangan pegangan hukum telah melahirkan penguasa-penguasa baru di negeri ini, dalam hal ini ulamalah yang mengambil alih ‘kekosongan kekuasaan’ itu.

Manakala itu terus berlanjut maka bukan kemajuan yang akan dicapai, sebaliknya kemunduranlah yang akan terjadi. Agama hanya akan menjadi objek kepentingan oleh suatu golongan atau individu. Agama akan dengan mudahnya diperalat oleh sebagian orang untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan.

Terlepas benar dan tidaknya setiap fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama ( karena hanya Tuhanlah yang tahu ), kemauan untuk membuka diri dan berdialog dengan semua pihak juga memahami benar-benar setiap permasalahan dan dampak negatif positif yang ditimbulkannya adalah hal yang harus dilakukan ulama saat ini agar tidak terjadi absolutisme dalam diri para ulama. Karena toh setiap kemajuan ilmu pengetahuan selalu menjadi pendukung terbukanya makna-makna tersembunyi dalam suatu ayat suci.

Hanya dengan begitulah maka cita-cita mewujudkan generasi yang kuat Imtak ( iman dan takwa ) dan Iptek ( ilmu pengetahuan dan teknologi ) akan tercapai.

Rabu, 21 Oktober 2009

UPACARA BENDERA SEBAGAI EKSPRESI SIMBOLIK KESADARAN NASIONALISME DAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN PADA GENERASI MUDA (SEBUAH REFLEKSI TANPA SIMPULAN)*

Anak-anakku sekalian, kehadiran saya, tak lain dan tak bukan adalah berupaya membawa kesegaran bagi keberadaan kesadaran nilai-nilai kepahlawanan yang akhir-akhir ini sudah mulai luntur dan pudar. Mengapa? Mengapa saya bisa mengatakan bahwa generasi saat ini sudah mengalami disorientasi historis dan tak lagi mengingat semangat juang pahlawan yang sudah lama gugur di medan pertempuran? Indikatornya apa-apa anak-anakku? Apakah saya sebagai sosok guru pada kalian ini terlalu meruda-paksa sebuah keadaan? Ataukah saya hanya asal bicara saja?

Barangkali kejutan seperti ini perlu sampaikan lebih dahulu. Banyak kita lihat anak muda seusia kalian lebih memilih tidak mengikuti upacara bendera jika mereka diberi pilihan diadakan upacara atau tidak pada hari itu. Ada lagi anak-anak muda yang mengatakan bahwa upacara bendera adalah bentuk fasisme/militeristik yang harus dijauhkan dari muka bumi ini. Teman kamu yang lain mengatakan bahwa upacara bikin pusing kepala dan berkeringat. Mereka tidak lagi menganggap bahwa upacara bagian dari upaya pelestarian tradisi yang efektif bagi penanaman nilai kebangsaan terutama nasionalisme negeri ini.

Banyak sekali kejadian anak-anak sekolah ngumpet di kamar mandi, di belakang pagar sekolah, atau ngrumpi di pojok pasar agar mereka tidak mengikuti pelaksanaan upacara bendera. Mereka menganggap upacara bendera adalah buang-buang waktu saja. Mereka memandang bahwa upacara itu tidak mengandung nilai pelajaran apapun. Anak-anak seperti itu kita jumpai di sekolah mana saja. Pokoknya, ada banyak alasan bagi mereka untuk mencoba kabur dari upacara.

Anak-anakku, ketika teman kamu yang lain mengikuti upacara bendera mereka melakukannya hanya sekedar formalitas baku dan semu. Mereka secara fisik berbaris rapi ala prajurit yang siap bertempur. Namun demikian, apakah dengan sendirinya pandangan, pikiran, dan hati mereka ikhlas betul mengikuti tahapan demi tahapan dalam upacara bendera? Ini yang perlu dipertanyakan? Banyak sekali siswa yang dengan pakaian seragam lengkap melakukan upacara tetapi tidak memahami apapun juga. Mereka hanya berkeringat dan kelelahan. Padahal jika kita mau meresapi makna apa di balik simbol-simbol upacara itu tentunya banyak sekali manfaat yang mampu mendorong kita menghormati nilai juang kepahlawanan bangsa ini.

Bapak/ibu yang saya muliakan dan anak-anakku yang saya cintai. Negeri Paman Sam yang sangat maju dan terkenal itu ternyata memiliki pola dan sistem pendidikan yang sangat pedulli dengan nilai-nilai na-sionalismenya. Kita mungkin tidak pernah membayangkan jika Amerika yang kapitalis itu mempunyai arah dan tujuan jelas di dalam sistem pendidikannya dalam rangka mencetak dan menciptakan generasi muda yang unggul di bidangnya masing-masing tanpa harus kehilangan warna kebangsaannya. Kita telah dikecoh dengan tayangan Hollywoodnya yang mengacaukan alam pikiran kita, dan justru ironisnya menjadi kiblat bagi anak muda kita yang hidupnya tanpa aturan, anarkhis, dan vandalis.

Setiap pagi, di dalam kelas, mereka melakukan ritual menghormati bendera yang dipimpin oleh ketua kelas masing-masing dengan guru yang ada di depannya. Kemudian dilanjutkan dengan lagu kebangsaan negerinya. Mereka begitu khidmat, takjub dan tenang. Dalam sekejab suasana sunyi tercipta. Seolah nuansanya kembali pada masa di mana rakyat Amerika bertempur dan menaikkan benderanya di sebuah perbukitan sebagai ekspresi dan upaya mempertahankan kemerde-kaannya ketika melawan tentara Inggris.

Anak-anakku, mengapa Amerika bisa seperti itu sedang kita tidak? Bapak dan ibu guru di sekolah di negeri yang penuh kedamaian ini ternyata sangat sulit mengarahkan dan mendidik anak bangsa dengan semangat dan spirit kebangsaannya. Upacara bendera setiap hari senin sebagai ekspresi simbolik kesadaran berbangsa tidak pernah mampu memberikan suntikan semangat kebangsaaan yang kita harapkan. Seharusnya kita mulai menyadari bahwa setiap inchi demi inchi bendera yang kita naikkan ke permukaan tiang bendera membutuhkan korban yang tak terhitung besarnya. Berapa jumlah generasi dahulu yang menjadi tumbal bagi kemerdekaan bangsa Indonesia yang kita impikan yang harusnya tercermin dalam balutan pengibaran bendera itu. Harus ada semacam penyetubuhan sikap dan hati kita secara sigap menyapa bendera yang dinaikkan secara perlahan namun membawa memori kita ke masa silam.
Hadirin yang kami muliakan. Bung karno sendiri mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Bagaimana kita bisa menghargai pahlawan jika ternyata dalam setiap upacara itu kita tidak mendapatkan apapun juga. Bung Karno benar, bangsa yang menghargai pahlawan itu akan menjadi bangsa besar. Dan justru itu tidak kita temukan pada anak bangsa kita. Anak-anak kita menganggap satu jam berada di halaman sekolah itu sebagai bentuk formalitas yang melelahkan. Bahkan hal ini diprovokasi oleh beberapa guru yang malah tidak memberikan contoh yang baik pada kita pada saat pelaksanaan upacara. Oknum guru itu lebih memilih duduk mengerjakan tugas dan persiapan mengajarnya daripada berpanas-panas ria bersama siswanya.

Bapak dan Ibu sekalian, Bangsa Jepang yang sekarang menguasai teknologi dan perekonomian dunia, dulunya juga sebuah bangsa yang kurang dikenal oleh bangsa lain. Namun berkat keuletan dan disiplin bushido dan ketertundukkan yang ikhlas terhadap kaisarnya mampu memberikan bukti bahwa kesadaran menjunjung budaya dan sejarahnya menjadikan mereka mampu pula mengangkat derajat dan martabat bangsanya hingga sejajar dengan bangsa lain. Bahkan, di beberapa bidang Jepang lebih unggul dibanding dengan bangsa lain. Mengapa kita tidak meniru bangsa Jepang?

Hebatnya, meskipun sudah sedemikian majunya, sistem pendidikan Jepang tetap tidak menghilangkan penanaman nilai budaya dan kepahlawanan melalui mata pelajaran sejarah dan keseniannya. Sejarah Jepang dibuka lebar-lebar bagi anak bangsa di negerinya itu agar mereka tahu bagaimana susah-payahnya sebuah negeri matahari itu terbentuk. Setiap pagi di sekolahnya mereka masih tetap melakukan seikerei, taiso, dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaannya yaitu kimigayo. Mereka pun tanpa malu jika diwajibkan mengkonsumsi bacaan Mushashi yang halamannya sampai 25.000 lembar, di mana bacaan ini dianggap kitab suci baru yang di dalamnya memiliki kandungan moral, etika, sejarah, dan budaya Jepang.

Bapak dan Ibu yang hadir pada saat ini. Upacara bendera pada hakikatnya merupakan aplikasi dan penerapan sejauhmana nilai-nilai kepahlawanan yang diberikan pada pelajaran sejarah selama ini diberikan. Sepanjang nilai-nilai itu mampu diberikan dengan baik dengan model dan strategi apa saja maka hasilnya akan baik juga. Kita memang perlu mempertanyakan efektifitas penanaman nilai kepahlawanan melalui pelajaran sejarah. Ironisnya, pelajaran sejarah justru dianggap sebuah mapel yang membosankan. Para siswa merasa jenuh jika harus menghafal angka sementara angkanya sendiri tidak bisa ketemu dengan rumus. Mereka bosan menghafal tokoh dan pelaku sejarah. Mereka harus bertemu dengan prasasti-prasati dan masa lalu yang wajib dihafal dan dihafal. Tak pernah terpikirkan pada kita untuk merubah sistem pengajaran sejarah dengan model belajar yang menarik dan menikmatkan siswa.

Ketika seorang siswa ditanya pelajaran apa yang tidak kamu sukai? Mereka pasti akan menjawab pelajaran sejarah. Alasan-alasan di atas tadi merupakan jawabannya. Anak-anak kita tidak pernah kita bangunkan kesadarannya melalui bentuk pengajaran sejarah yang mampu memahami apa yang terjadi pada masa lalu di negeri kita ini.

Hadirin yang kami hormati, Cicero dan Herodotus pernah mengatakan bahwa sejarah mengajarkan masa lalu pada generasi sekarang agar kita bisa menemukan jawaban tentang apa yang terjadi saat ini dan sekaligus merancang apa yang mungkin terjadi pada masa depan di sebuah negeri. Roeslan Abdulgani sendiri pun pernah mengatakan bahwa sejarah mengajarkan cara pandang tiga dimensi. Mempelajari sejarah berarti mengajak kita untuk berziarah pada masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Namun sayangnya, bangsa kita amat jarang untuk mencoba memahami apa yang terjadi pada negeri kita ini. Korupsi, kemalasan, dan kemerosotan akhlak menjadi satu indikator kebejatan masyarakat kita yang tidak pernah mencoba mengenal bangsanya sendiri. Kita hanya berani mengkambinghitamkan pemerintah kolonial Belanda selaku penjajah yang telah menciptakan mental inlander dan kebusukan korupsi ketika VOC masih berjaya waktu itu. Kita malah menjadikan sejarah sebagai sumber legitimasi untuk melakukan kesalahan yang sama dan pernah dilakukan oleh generasi terdahulu. Koentjaraningrat sendiri pernah mengatakan bahwa negeri ini telah menciptakan suatu mentalitas yang mampu mendorong masyarakatnya (justru) mundur ke belakang. Kita tidak pernah akan menjadi bangsa yang maju, malah mundur karena mentalitas menerabasnya yang sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya, sudah terserap pada sebagian pembuat kebijakan.

Apakah lalu dengan demikian kita masih perlu menyalahkan anak-anak kita sendiri sementara generasi di atas kita memberikan contoh dan ketauladan yang begitu gamblang dipertontonkan.

Rekan-rekan semua, ada kalanya kita perlu merenungi apa yang telah terjadi pada negeri kita di mana sebetulnya adalah sebuah penyakit kronis yang salah satu penyebabnya adalah tidak adanya kesadaran berbangsa dan bernegara di negeri ini. Penyimpangan perilaku di atas sebetulnya didorong oleh kepentingan pribadi saja. Mereka tidak pernah menyadari bahwa yang dilakukan adalah menodai semangat kepahlawan yang menitikberatkan pada sifat-sifat altruistik yang wajar. Tak pernah-kah mereka mencoba meniru pengorbanan the founding fathers itu?

Siswa dan anak-anak kita ini perlu diwarisi sikap kepahlawanan sejati. Pahlawan yang tidak hanya tertancap pada benak anak-anak kita tentang heroisme yang kaku dan kurang bisa dipahami bagi konteks anak muda sekarang. Oleh karena itu, ada kalanya selain kesalahan penyampaian dan mekanisme konkrit pengawasan sejauhmana nilai kesadaran kepahlawanan terlihat tersebut sebaiknya kita perlu mempersamakan persepsi tentang kebangsaan itu sendiri, antara generasi tua dengan anak-anak muda itu sendiri.

Sering anak-anak kita menghafal pengertian nasionalisme yang berasal dari orang-orang besar seperti Hans Kohn, Louis Sneyder, Otto Bauer, dan Ernest Renan. Mereka mencoba untuk menancapkan pada benak dan pikiran mereka tentang paham-paham kebangsaan itu. Hasilnya mereka hafal betul siapa dan apa yang dikatakannya. Namun, ketika mereka melihat konteks kehidupan negeri Indonesia ini, begitu sulitnya untuk memahami persoalan politik yang akhirnya mengobrak-ngabrik akar pemahaman mereka terhadap konsepsi nasionalisme itu sendiri. Satu persatu wilayah di Indonesia seakan mencoba untuk keluar dari NKRI. Perlahan mereka menuntut pelaksanaan referendum atau jajak pendapat di setiap wilayahnya masinh-masing. Timor-Timur hempas, Aceh bergolak, Papua kelam, Maluku hitam, serta Sipadan dan Ligitan akhirnya menjadi persoalan serius yang perlu dipikirkan kembali tentang apa yang terjadi di negeri ini. Konflik atas nama etnis tercipta antara Aceh dengan Jawa, Pribumi dengan Cina, dan Dayak dengan Madura. Hati kita menangis tanpa tahu apa yang harus kita lakukan untuk mencegah itu. Kita malu bahwa kita punya negeri seperti itu. Sampai-sampai Taufik Ismail penyair angkatan 66 perlu membuat puisi yang berjudul Aku Malu Jadi Orang Indonesia.

Hadirin yang terhormat, tidakkah kita salah jika mencoba mempraktikkan sekumpulan definisi tentang nasionalisme di atas. Sebuah bangsa tercipta karena kesadaran berbangsa. Mereka memiliki hasrat, perasaan senasib dan sepenanggungan. Mereka sebagai sebuah etnis yang semula berbeda akhirnya dipersatukan melalui semangat mengatasi penjajahan. Perasaan ini akhirnya membuat sebuah bangsa tercipta dan mandiri. Namun, ada pertanyaan besar yang menggangu pikiran kita: apakah setelah musuh bersama itu terhapus lalu kita akan diam saja tanpa bisa berbuat apa saja untuk eksistensi kemerdekaan negeri ini?

Bapak dan Ibu, kerap kita menyalahkan anak-anak kita akan hilangnya kesadaran berbangsa seperti halnya di awal pidato ini. Ada suatu persoalan besar yang mungkin melanda persepsi kebangsaan pada anak didik kita. Generasi tua seringkali merasa bahwa negeri ini berdiri karena jasa mereka. Di satu sisi, memang itu fakta yang harus kita junjung tinggi kebenarannya. Namun, apakah dengan demikian mereka sah-sah saja mengatur dan menentukan merah-putihnya negeri ini? Saya kira kita harus berani memandang secara obyektif. Dalam hal ini harus ada sebuah titik temu untuk memperbincangkan arah dan masa depan negeri ini melalui persepsi nasionalisme. Artinya harus ada titik pijakan untuk melangkah dan menentukan seperti apa negeri ini dibangun. Sebuah negeri yang indah ini tidak semata berisi kenangan semata. Namun negeri ini membutuhkan berbagai perekat yang mampu menjadi elemen yang menyatukan perbedaan-perbedaan bangsa ini. Kita harus mampu menciptakan sebuah monumen-monumen yang bisa mengingatkan akan bentuk perjuangan, kebersatuan, kebergunaan, dan prestasi-prestasi yang perlu kita tuju dalam mengisi masa pembangunan. Pembangunan yang kita laksanakan pada dasarnya merupakan perekat juga yang akan membersatukan kita menuju cita-cita bangsa. Agaknya konsepsi ini mirip dengan apa yang pernah dikatakan oleh Benedict Anderson tentang nasionalisme imajiner atau kesadaran kebangsaan yang mencoba untuk dibayangkan.

Bapak dan Ibu, kita kembali pada pokok persoalan awal tentang rendahnya partisipasi dan kesadaran anak didik ketika melakukan sebuah ritual yang bernama upacara bendera. Apa yang sampaikan di atas sangat terkait dengan kondisi dan pandangan anak didik terhadap upacara bendera. Upacara bendera menjadi sesuatu yang muskil dan harapan semu mana kala akar masalah akan rendah anak didik itu tidak ditelusuri dengan baik. Kondisi global dan nasional dari perpolitikan bangsa di negeri nan indah ini ternyata mempengaruhi bagaimana mereka harus menyikapi upacara bendera.

Anak-anakku sekalian, upacara bendera bukanlah semata sebuah ritual yang dilahirkan oleh pemerintah militer Dai Nippon. Memang, Jepang memberikan sendi-sendi militeristik di negeri ini. Jepang memiliterkan semua aspek kehidupan. Namun, esensi dan nilai terpenting dari upacara itu adalah eksrepsi simbolik manusia sekarang terhadap masa lalu perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Upacara bendera adalah jembatan manusia sekarang untuk mengunjungi kenangan-kenangan yang pernah ada pada negeri kita yang sedang mengada.

Akhirnya, apa yang sudah saya sampaikan ini adalah perkataan yang tak luput dari kesalahan. Saya selaku wakil guru sejarah mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya jika ada pengajaran dan penyampaian materi sejarah oleh para guru yang ternyata meleset dari fakta dan kejujuran sejarah itu sendiri. Dan, sekali lagi maaf bahwasanya saya tidak mampu memberikan penutup pada pertemuan yang sangat berarti ini karena saya yakin apa yang saya sampaikan ini tentunya kesimpulannya ada pada hati kita masing-masing. Biarlah apa yang saya sampaikan ini memberikan pemaknaan yang berbeda-beda di hati saudara, bapak/ibu, dan anak-anakku sekalian. Bagi saya pribadi, perbedaan adalah sebuah sunatullah, dan sekaligus berkah yang pasti dapat memberikan inspirasi bagi kemajemukan dan kemajuan negeri ini.
*Penulis: Muslichin, Guru SMA 2 Kendal. Tulisan ini berasal dari naskah pemenang Ke-2 Lomba Pidato Kepahlawanan Kemah Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal di Protomulyo Kaliwungu 30 November s/d 3 Desember 2007.

SEJARAH DAN NASIONALISME: UPAYA PELAJARAN SEJARAH DALAM MENUMBUHKAN SEMANGAT NASIONALISME*

Nasionalisme mungkin barang baru bagi remaja seperti kita yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Meskipun istilah ini sering diucapkan oleh Bapak dan Ibu guru Sejarah, namun kita sering mengalami sedikit kebingungan ketika harus menafsirkan istilah itu pada situasi konkrit di negara kita yang masih banyak kekacauan dan kerusuhan. Jika kita membuka buku-buku sejarah kelas XI juga kita akan menemukan istilah ini muncul pada pembahasan mengenai sejarah dan latar belakang ideologi pergerakan nasionalisme. Nasionalisme berdampingan dengan ideologi sosialisme, pan islamisme, liberalisme, kapitalisme, bahkan komunisme (Badrika, 2005: 202-209).

Sepintas apa yang saya baca dalam buku itu mengatakan bahwa nasionalisme adalah ideologi yang bergandeng mesra dengan persoalan kebangsaan, sedangkan ideologi lainnya lebih berupaya mewujudkan sebuah cita-cita sosial yang akan dicapai oleh masyarakat. Nasionalisme dikatakan muncul sebagai perlawanan dari sikap politik kolonial yang menindas rakyat suatu negara, menyebabkan kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan sehingga menumbuhkan bangsa yang tertindas itu untuk bersatu atas dasar kesamaan nasib dan cita-cita. Mereka yang semula tidak saling mengenal akhirnya disatukan oleh nasib penindasan yang dilakukan bangsa Eropa yang kuat dan arogan.


Pertanyaannya adalah mungkinkah nasionalisme yang berakar pada sejarah panjang sebuah bangsa dari jaman penjajahan bangsa Eropa itu masih cocok dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Mungkinkah pula pelajaran sejarah yang berkompeten untuk membahas persoalan nasionalisme mampu mengajarkan nilai-nilai nasionalisme yang tidak hanya berhenti pada tataran historis saja, melainkan mengembangkan konsep nasionalisme itu pada era globalisasi yang tentunya rumit dan njlimet ini? Tulisan di bawah ini akan mencoba membahas bagaimana peran mapel sejarah di sekolah Menengah Atas dalam rangka mengenalkan konsep nasionalisme yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia di era globalisasi dan internet. Tentu saja tulisan ini juga menyentuh persoalan guru yang mengajar bidang sejarah, terutama pada pengajaran yang mereka transformasikan pada anak didik seperti kita.

Membedah Materi Sejarah
Pada dasarnya pelajaran sejarah sejauh ini cukup dapat memberikan manfaat yang cukup berarti bagi upaya menumbuhkan jiwa nasionalisme remaja seperti kita ini. Remaja yang masih hidup dalam dunia yang penuh kebimbangan, keraguan, dan ketidakdewasaan memang harus diberikan dorongan untuk mengenal lebih dini apa sebenarnya tujuan mereka mendapatkan pendidikan di sekolah. Pendidikan sejarah tidak lepas dari kurikulum yang mengarahkan remaja untuk memahami posisinya sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban tertentu.


Pada pelajaran sejarah baik dari kelas X sampai dengan kelas XII kita melihat materi-materi mana saja yang bisa dikatakan menumbuhkan semangat nasionalisme yang dimunculkan sebagai sarana untuk menimbulkan semangat berbangsa. Mempelajari materi tradisi masyarakat prasejarah dan sejarah di Indonesia akan menumbuhkan kesadaran masa lalu mengenai hasil karya apa saja yang bisa didokumentasikan oleh manusia-manusia yang hidup saat itu. Dengan mempelajari cerita rakyat, folklor, dongeng, legenda, dan mitos yang hidup pada masa prasejarah, remaja sekarang lebih bisa mengapresiasi tentang masterpiece-masterpiece apa yang hidup sebagai bukti rekaman dinamika kehidupan masa itu. Cerita tentang legenda para wali sampai dengan mitos-mitos terbentuknya sebuah tempat, dongeng si Kancil, Lutung Kasarung, Malin Kundang, I Kesuna lan I Bawang, Bawang Merah dan bawang Putih, permainan rakyat, arsitektur bangunan, teater rakyat, makanan dan senjata rakyat, pengobatan tradisional, dan upacara-upacara tradisional suatu masyarakat memberikaan cermin dan gambaran yang hidup manusia-manusia dan aktivitasnya pada masa itu (Mustopo, 2006: 15-32 ). Dengan mengkaji hal ini, remaja akan tahu bagaimana jauh sebelum terbentuknya negeri yang bernama Indonesia kita sudah memiliki kesamaan-kesamaan adat dan budaya tertentu meskipun secara garis besar dibedakan adat, tradisi, dan bahasa antar etnis yang hidup di Indonesia.


Apalagi jika pembahasan sejarah sudah sampai pada persoalan buah karya manusia Indonesia pada masa klasik Hindu-Buddha, maka kita akan melihat bahwa prasasti, kitab kuno dalam lontar, dan dokumen-dokumen penting yang hidup pada masa sesudahnya berbicara banyak hal tentang problem hidup manusia atas nama kekuasaan, ekonomi, dan religi. Hal ini semakin membawa kesadaran kita bahwa nenek moyang kita bukanlah sebagai manusia bodoh yang pasif dalam menerima unsur-unsur budaya asing yang masuk ke Indonesia. Dari hal itu kita menyadari bahwa nenek moyang kita mempunyai kearifan lokal (local genius) dalam menerjemahkan kepercayaan dan keyakinan agama luar ke dalam kebutuhan religi manusia Indonesia (Mustopo, 2005: 5). Prinsip animisme dan dinamisme bergandeng tangan dengan kebutuhan akan figur dewa-dewa yang hadir setelah agama Hindu masuk ke nusantara. Sistem pemerintahan primus interpares model kepala suku beralih pada bentuk pemerintahan kerajaan di mana raja mempunyai beberapa penasihat dan pembantu dalam menjalankan sistem pemerintahannya.


Memasuki materi tentang awal-mula manusia Indonesia, kita sebagai remaja akan diperlihatkan beberapa konsep kebudayaan yang lahir dari bumi nusantara sendiri. Hal ini dibenarkan Brandes yang mengatakan bahwa Indonesia pada masa purba sudah memiliki sepuluh kebudayaan yang sangat mendasar seperti perbintangan, bersawah atau membajak sawah, nelayan (pembuatan perahu bercadik), membatik, beternak, animisme dan dinamisme, dan sebagainya. Bahkan ada penjelasan dari Moh. Ali dan Mohamad Yamin bahwa nenek moyang kita berasal dari Indonesia sendiri yang dibuktikan dengan banyaknya fosil manusia purba yang diketemukan di Indonesia. Hal ini membawa kesadaran remaja bahwa kita mempunyai sejarah yang sangat panjang. Jarang bangsa di dunia yang mempunyai akar sejarah yang panjang (Badrika, 2004: 118-125 ). Orang Brazil saja merasa rendah diri karena akar sejarah mereka yang tidak panjang. Bangsa Brazil merupakan produk dari bangsa jajahan Spanyol yang sejarah, adat-istiadat, dan kebudayaannya sangat berbau mestizo sekali (Encarta Ensiklopedia, 2006). Ironisnya kita malah cuek dan tidak menahu akan hal itu. Padahal dengan mengetahui siapa sebenarnya nenek moyang kita, maka sebagai remaja kita akan memiliki rasa kebersamaan dan kesadaran multikultur di antara saudara sebangsa setanah air yang berbeda adat-istiadat dan budayanya itu. Meskipun kita mungkin berbeda budaya dan bahasa tetapi sebenarnya kita berasal dari bangsa austronesia, bangsa Yunan, atau bangsa yang menempati Teluk Tongkin. Mereka memang identik dengan ras mongoloid. Mereka datang ke nusantara terbagi menjadi dua gelombang yang sangat besar. Gelombang pertama datang pada tahun 2000-1500 SM yang melahirkan generasi Proto Melayu, sedangkan gelombang kedua datang pada tahun 500 SM yang melahirkan generasi Deutro Melayu (Mustopo, 2006: 115-119 & Vlekke: 2008). Dengan pengetahuan tentang awal mula suku bangsa di Indonesia ini tentu akan menambah kesadaran berbangsa dan bertanah air. Kita tidak lagi memiliki pandangan sempit dan berbau primordial melainkan wawasan kebangsaan kita semakin meluas.


Pada pembelajaran kelas XI, kita melihat bahwa materi-materi yang dimunculkan semakin mengarahkan kesadaran siswa pada masa lalu negeri ini. Pada masa klasik Hindu-Buddha, kebanggaan sebagai orang Indonesia muncul ketika dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya dan Majapahir sebagai kekuatan penting baik dari aspek politik, ekonomi, dan budaya di wilayah Asia Tenggara. Dua kerajaan ini bisa dimaknai sebagai cikal-bakal yang mendasari munculnya bangsa Indonesia kelak di kemudian hari. Mungkin data historis tentang hal itu sangat sulit, setidaknya dua kerajaan itu memberikan nuansa-nuansa kenusantaraan bagi generasi penerusnya. Pada kerajaan Sriwijaya yang menitikberatkan aspek kemaritiman, bangsa kita menjadi satu-satunya penguasa lautan dalam pengertian positif. Aspek perdagangan benar-benar diperhatikan. Sisi keamanan lautan diserahkan pada para mantan bajak laut yang mempunyai pengaruh besar bagi nelayan dan pedagang asing. Para panglima Sriwijaya mampu memberikan paksaan pada pedagang asing untuk taat terhadap peraturan kemaritiman kerajaan Sriwijaya. Mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk menjaga kekuasaan Sriwijaya atas lautan yang melingkupi 2/3 wilayah Indonesia saat ini. Pembahasan materi ini akan mendongkrak kembali ingatan remaja akan peristiwa besar yang pernah memberikan makna kejayaan bagi Indonesia di masa lalu. Kebanggaan-kebanggaan seperti ini sangat penting sekali untuk menjaga ikatan primordial yang positif bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Demikian pula ketika menginjak pada pembahasan tentang kerajaan Majapahit, remaja seperti kita akan diajak untuk memahami latar belakang dan dampak kebijakan mahapatih Gajah Mada dan rajanya yaitu Prabu Hayam Wuruk melakukan berbagai ekspedisi penaklukan berbagai daerah di Nusantara tersebut. Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya yang sangat terkenal memiliki perspektif jauh ke depan dalam memandang pentingnya keutuhan negeri ini dalam rangka mengantisipasi kepentingan asing yang akan merusak Nusantara. Meskipun akhir-akhir ini Gajah Mada dianggap tokoh yang kontroversial terutama semenjak adanya peristiwa Bubad itu, ia tetap figur yang penting bagi terbentuknya wilayah kekuasaan Majapahit yang sangat luas (Muljana, 2006: 1-20).


Pada materi berikutnya kita juga disuguhkan berbagai macam kerajaan tradisional yang mencoba eksis dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Namun demikian kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang lainnya tidak mampu memberikan motivasi atau dorongan untuk membentuk kesadaran berbangsa seperti halnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tersebut di atas. Hanya saja penyajian kerajaan lainnya tersebut mampu merepresentasi perasaan dan emosi dari remaja yang berasal dari daerah kerajaan tersebut berasal. Pembahasan kerajaan Sunda Galuh dan Pajajaran tentu akan memberikan rasa keadilan sejarah bagi masyarakat Sunda. Penyajian Kerajaan Kutai akan menyejukkan rasa keindonesian bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pulau Kalimantan. Pembahasan kerajaan Buleleng juga memberikan sentuhan rasa memiliki bagi warga yang lahir di daerah Bali.

Demikian pula pembahasan kerajaan Islam. Munculnya Islam yang menggeser dominasi kerajaan Majapahit memberikan makna tersendiri bagi rasa primordialisme remaja. Remaja yang beragama Islam mungkin menganggap bahwa nilai-nilai keislaman mereka akan bertambah ketika melihat sebuah fakta bahwa kerajaan Majapahit yang runtuh karena faktor berkembangnya agama Islam. Akan tetapi bagi remaja yang beragama nonmuslim (Hindu) akan melihat dari perspektif lainnya, yaitu Islam datang dengan cara kekerasan untuk menaklukkan sebuah kekuatan politik yang sudah lama berkuasa di Jawa (baca Muljana, 2006 & Vlekke, 2008). Oleh karena itu perbedaan perspektif ini seyogyanya oleh bapak/ibu guru jangan diperuncing menjadi permasalahan yang tak mungkin tuntas menjawabnya. Guru sejarah harus berani mengarahkan pada perspektif dan sudut pandang tertentu yang tidak menggeser pada titik nasionalisme.


Pada dasarnya sejarah masa keislaman ini juga memberikan sentuhan kebangsaan yang kuat pada pembahasan materinya. Pada saat itu, kerajaan Demak yang saat ini dipimpin oleh Dipati Unus melakukan terobosan yang berani. Ia nekat melakukan penyerangan langsung ke Malaka yang pada tahun 1511 dikuasai oleh bangsa Portugis. Meski penyerangan ini tidak mampu mengalahkan kekuatan armada laut Portugis, tetapi sejarah telah mencatat kegagahan dan keberanian Dipati Unus untuk mengusir Portugis dari wilayah Nusantara. Ironisnya raja-raja sesudahnya tidak memiliki keberanian yang sama untuk melakukan penyerangan ke Malaka. Adanya perbedaan keberanian ini juga harus secara jujur diberikan pada pembelajaran sejarah di sekolah sehingga dari remaja sendiri memiliki figur tertentu yang bisa dijadikan idola dan figur lain yang tampil sebagai pecundang. Hal ini akan membangun sikap kritis di antara siswa pada saat kegiatan belajar sejarah (lihat Toer, 2001).


Pada materi berikutnya, kita semakin disuguhkan bentuk interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa yang bersilih ganti menempati posisi dagang penting di beberapa pelabuhan yang ada di kota-kota dagang Nusantara. Dari bangsa Spanyol dan Portugis yang hanya selintas memberikan warna eksploitasi bagi negeri kita sampai dengan bangsa Inggris dan tentu saja Belanda yang memberikan sentuhan kebijakan yang membuat rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan-penderitaan rakyat Indonesia ini pada akhirnya menimbulkan perlawanan dari pemimpin-pemimpin setempat. Namun karena sifatnya gerakan perlawanannya masih sporadis maka tentu saja mereka dengan mudah bisa dibasmi oleh VOC maaupun pemerintah Kolonial Belanda. Meskipun Belanda dengan susah payah membasmi para pemberontak, namun karena kuatnya sistem militernya maka dengan strategi liciknya pemimpin lokal dapat ditangkap, diasingkan, atau dibunuh. Bentuk penjajahan Kolonial Belanda dan efek perlawanan pemimpin lokal inilah yang membuat mendidih rasa emosi kita sebagai bangsa yang selalu diinjak harga dirinya. Pelajaran sejarah memberikan cermin masa lalu untuk melihat bahwa karena adanya perlakuan semena-mena melalui kebijakan stelsel tanah, rodi, tanam paksa, dan liberalisme menjadi ajang eksploitasi menyeluruh pada semua wilayah di Nusantara. Aspek kemiskinan menjadi sesuatu yang lumrah pada kondisi Indonesia ketika di bawah penjajahan Belanda. Adanya kesamaan nasib ini melahirkan semangat untuk bersatu. Ada sebuah kehendak yang ingin dicapai oleh nenek moyang kita ketika menghadapi penjajah Belanda.


Pembelajaran sejarah masa Kolonial Belanda dan Pergerakan Nasional ini seakan menjadi roh dalam mempelajari masa negeri Indonesia. Mengapa? Materi pembelajaran sejarah ini sangat terkait dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya kesadaran berbangsa. Barangkali jika tidak ada kekejaman pemerintahan Kolonial Belanda kita tidak memiliki kehendak untuk bersatu, perasaan senasib, dan keinginan untuk merubah sesuatu secara bersamaan. Belanda di satu sisi mengeksploitasi sumber ekonomi Indonesia, namun di sisi lain, memunculkan semangat kebersamaan dari bangsa yang tertindas. Keinginan bangsa yang tertindas merupakan manifestasi kelelahan sebagai bangsa yang harus melayani kekuasaan Belanda di tanah air. Semua bangsa yang ditindas akan seperti itu. Hanya persoalan waktu yang tidak sama antara ekspresi perlawanan dari daerah dengan daerah lain.


Dari materi kelas XI itu kita bisa melihat kesadaran nasionalisme yang terbentuk secara perlahan. Penjajahan Belanda dengan segudang kebijakannya sedikit demi sedikit membawa kemelaratan dan kesengsaraan yang menyeluruh bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia. Pada masa VOC, kegagalan bangsa Indonesia untuk menyerang dan mematahkan dominasi kekuatan Belanda disebabkan karena kurangnya semangat persatuan dan kesatuan anak negeri. Masing-masing daerah membawa ideologi yang berbeda dan kepentingan-kepentingan politis-ekonomis yang tidak sama pula. Artinya apa? Anak negeri belum memiliki kesadaran berbangsa. Banyak aspek yang menyebabkan mereka tidak membutuhkan kesatuan anak negeri dalam melawan dominasi VOC saat itu. Pertama, alasan politis antara perlawanan satu daerah dengan daerah lain berbeda. Umumnya perlawanan dilakukan karena terhimpitnya kepentingan politis penguasa setempat. Banyak contoh yang dapat diberikan di sini. Kita bisa melihat perang Diponegoro, perlawanan pangeran Antasari, Teuku Cik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Sisingamangarajaan IX, dan sebagainya. Para pemimpin tersebut merasa kekuasaan teritorialnya dan adatnya hilang gara-gara politik penjajahan yang memasuki wilayah di mana mereka menjadi figur pemimpinnya. Kedua, faktor ekonomi. Faktor ekonomi menjadi penyebab langsung pemimpin lokal untuk mengorbankan semangat perlawanannya. Sultan Agung melihat bahwa adanya kebijakan perekonomian VOC yang monopolis jelas menghilangkan sumber pendapatan mereka atas daerah pesisiran yang dahulu dikuasainya. Salah satu upaya agar penghasilan atas daerah pesisir itu tidak menguap, mereka harus mengusir VOC yang ada di Batavia. Penyerangan yang dilakukan selama dua kali memang mengalami kegagalan, namun semangat untuk mengalahkan VOC tidak pernah padam hingga VOC mengalami kebanagkrutan dan diganti oleh pemerintahan transisi. Ketiga adalah faktor keyakinan. Faktor keyakinan akan adanya Ratu Adil, Heru Cokroningrat, dan Sang Mesias membawa motivasi dan semangat orang-orang jaman itu yang mendambakan perubahan. Keyakinan adanya sang pembebas ini menjadi ideologi yang kuat membangun mereka untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Namun demikian perlawanan-perlawanan kedaerahan yang berbasis keyakinan Sang Juru Selamat ini sangat pemimpin sentris. Ketika para pemimpinnya ditangkap dan dibunuh maka perlawan-perlawanan yang pernah merebak bak jamur di musim penghujan itu akan hilang seketika.


Baru memasuki pembahasan tentang materi pergerakan nasional, kita disuguhi terlebih dahulu konsep dan teori nasionalisme. Konsep nasionalisme yang ditawarkan Ernast Renan, Hans Kohn, Otto Bauer, Lottendorp, dan Snyder bahu-membahu dalam mengkaji persoalan-persoalan yang sering dialami negara dunia ketiga (Badrika, 2005: 202-203). Mereka mengatakan bahwa bangsa tertindas akan melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan. Perasaan ini lama kelamaan melahirkan pula kehendak untuk bersatu dan kehendak untuk melawan suatu sistem yang tidak memihak kepentingan mereka. Ketika saat yang ditunggu tiba mereka akan berlomba melakukan perombakan sistem melalui saluran politik yang mulai terbuka.


Demikian yang dialami kondisi Indonesia pada masa pasca politik etis. Adanya pendidikan membawa perubahan bagi struktur sosiaal masyarakat Indonesia. Pendidikan barat yang mereka terima membawa pengenalan pada ide-ide baru tentang sosialisme, pan islamisme, liberalisme, marxisme, dan akhirnya nasionalisme. Ketika peluang terbuka, makam para elit pemuda saat itu menggunakan kesempatan yang ada untuk mengajukan tuntutan kemerdekaan.

Melihat materi pembelajaran tentang sejarah pergerakan kebangsaan itu kita bisa melihat bagaimana sepak terjang anak bangsa dalam memanfaatkan pendidikan dan organisasi massa untuk mengajukan beragaam perubahan yang penting bagi masa depan Indonesia. Materi tentang Sumpah Pemuda ini akan memperlihatkan bagaimana dengan keterbatasn-keterbatasan yang ada pemuda Indonesia mampu mendesak pemerintah Kolonial untuk menyetujui gagasan tentang Dewan Perwalian, esistensi parpol dalam Volksraad, dan Pemerintahan Transisi. Sayangnya Jepang keburu datang untuk menggantikan posisi pemerintahan Kolonial Belanda.

Pada pembahasan materi Pendudukan Jepang dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada pelajaran sejarah kelas XII, kita melihat bagaimana Jepang yang katanya saudara tua ternyata mempunyai maksud tersembunyi yang jahat dan culas. Jepang membawa janji semu melalui gerakan 3 A dan Putera. Jepang membuat mobilisasi massa melalui romusha, Peta, Heiho, Fujinkai, Tonarigumi, Keibodan, dan Ianfu untuk kepentingan infrastruktur militer yang penting bagi keutuhan dominasi Jepang di Indonesia. Penderitaan yang bertubi-tubi rakyat Indonesia ini jika dibahas dengan model belajar sejarah yang baik akan memberikan sikap empati yang penting bagi pembentukan kesadaran berbangsa. Nasionalisme remaja semakin bertambah jika pembahasan tentang Pendudukan Jepang menukik sampai dengan persoalan penderitaan romusha dan ianfu (Mustopo, 2006: 222-245).


Puncak penanaman nasionalisme dalam pelajaran sejarah tentu saja pada peristiwa pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa bersejarah ini mempunyai andil cukup besar bagi upaya membentuk kesadaran nasionalisme remaja Indonesia saat ini. Hanya saja, sering kali pembahasan yang ditampilkan cenderung membosankan dan datar sehingga malah menimbulkan kejenuhan dari siswa sendiri. Guru sejarah jangan sampai teks book saja dalam menampilkan geliat para pemuda saat itu dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa Rengasdengklok bisa saja ditampilkan melalui metode Role Playing atau Sosiodrama. Hal ini akan memunculkan emosi remaja dalam memahami semangat jaman yang pernah hadir di tahun 1945-an.

Pada materi sejarah kelas XII, kita dapat melihat bagaimana sikap anak bangsa dalam menyikapi kemerdekaan yang diperoleh dengan susah payah itu. Dinamika dan tarik-menarik antara pemerintah-rakyat, pusat-daerah, dan ideologi-ideologi mewarnai sejarah Indonesia. Akibat lebih lanjut kita melihat bahwa terjadinya ketidakpuasan daerah terhadap pusat yang meletus menjadi pemberontakan anak bangsa sendiri, pertempuran antara saudara setanah air, dan pergantian kabinet demi kabinet.
Hal itu terjadi terus-menerus sampai bangsa ini sampai pada pemerintahan demokrasi terpimpin, Orde Baru, dan bahkan sampai dengan era Reformasi. Pendek kata pelajaran sejarah telah memberikan warna dan lukisan naturalis dan sekaligus realisme tentang keadaan negeri ini dari masa purba, prasejarah, sampai dengan masa Reformasi. Problematika bangsa yang beragam itu ternyata dapat ditarik sebuah benang merah bahwa ketidakmampuan anak bangsa ini dalam mengembangkan semangat nasionalisme para pendiri bangsa inilah sebagai awal kehancuran negeri yang sangat susah payah berdiri ini.

Di sisi lain, guru sejarah mempunyai posisi penting dalam memahamkan konsep nasionalisme pada remaja Indonesia. Para guru inilah yang nantinya melahirkan generasi intelektual yang cerdas dan memiliki naluri kebangsaan yang berkembang sesuai dengan semaangat perubahan itu sendiri, tidak kaku, dan fleksibel. Sayangnya tidak semua guru sejarah dapat menampilkan dirinya seperti itu. Hanya guru sejarah yang mampu belajar dari kesalahan bangsa ini akan mencoba merekonstruksi apa yang terbaik dengan mewujudkannya dalam kurikulum dan bahan ajar (Winenburg, 2008: 10-25). Ia selalu belajar dan mencoba menerjemahkan makna nasionalisme itu sendiri bagi keutuhan NKRI dan pengembangan wawasasan kebangsaan anak negeri. Agaknya guru sejarah harus pula menyadarkan kita remaja sebagai bagian dari generasi yang siap taampil ke permukaan. Mau tidak mau kita akan menyikapi nasionalisme melalui apa yang tersedia dalam ruang-ruang yang ada. Guru sejarah harus bersikap membimbing dan mengarahkan remaja Indonesia untuk memiliki kepedulian terhadap lingkungan, kepedulian terhadap persoalan bangsa, kepedulian terhadap persoalan keadilan pembangunan dan ekonomi, dan persoalan-persoalan gender serta lain sebagainya yang berkembang sesuai perubahan zaman. Entitas-entitas yang memunculkan ruang kebangsaan harus selalu dimunculkan. Semangat kebangsaan harus ditampilkan melalui kepedulian remaja Indonesia terhadap persoalan KKN, persoalan korupsi, keseimbangan keuangan Pusat dan daerah, dan amademen perundang-undangan yang sudah saatnya diganti karena tidak sesuai dengan problem globalisasi (baca Anderson, 1999: 1-20).

Refleksi
Pada dasarnya pelajaran sejarah sangat terkait dengan penumbuhan kesadaran berbangsa dan nasionalisme. Banyak orang yang berpendapat bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya (sejarahnya). Dengan keyakinan seperti itulah pelajaran sejarah diberikan di setiap jenjang pendidikan. Materi dan bahan ajar yang hampir sama di setiap jenjang pendidikan tersebut mengkaji manusia jaman purba, masa klasik Hindu-Buddha, masa Islam, Kolonialisme Belanda, Pendudukan Jepang, Masa Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Liberal dan Terpimpin, dan Orde Baru serta Masa Reformasi. Pemberian materi ini jelas sekali dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat kebangsaan remaja Indonesia. Melalui metode yang tepat maka guru dapat menyampaikan sendi-sendi nasionalisme melalui bahan ajar tersebut. Melalui kreativitas guru sejarah, maka materi dan bahan ajar sejarah itu tidak kosong, kaku, dan membosankan, melainkan dapat tampil secara menarik, indah, dan mampu mewujudkan kualitas kesadaran berbangsa yang sesuai dengan problematika bangsa saat ini.


DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. 1999. Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustakan Pelajar.
Badrika, I Wayan. 2005. Sejarah Nasional dan Umum SMA Kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Badrika, I Wayan. 2005. Sejarah Nasional dan Umum SMA Kelas XI Program Ilmu Sosial dan Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Badrika, I Wayan. 2005. Sejarah Nasional dan Umum SMA Kelas XII Program Ilmu Sosial dan Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mustopho, Habib. 2006. Sejarah Kelas X. Jakarta: Yudhistira.
Mustopho, Habib. 2006. Sejarah Kelas XI Program IPA. Jakarta: Yudhistira.
Mustopho, Habib. 2006. Sejarah Kelas XII Program IPA. Jakarta: Yudhistira.
Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS.
Muljana, Slamet. 2006. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.
Toer, Pramoedya Ananta. 2001. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mithra.
Wineburg, Sam. Berpikir Historis. Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Buku Obor.
Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

SOFT SKILL DALAM MUATAN SEJARAH

Pada prinsipnya, globalisasi menuntut perubahan di segala aspek kehidupan manusia. Perubahan dengan sendirinya akan menuntut aspek apa saja yang harus disesuaikan dengan pola-pola kehidupan yang terjadi pada masa kini. Demikian pula yang terjadi pada pendidikan di sekolah, melalui kurikulum yang ada akan terlihat beragam perubahan yang diarahkan dengan tuntutan pasar dan masyarakat global. Kurikulum mau tidak mau selalu mengalami beragam perubahan agar dapat menyesuaikan dengan keadaan dunia, lingkungan, dan selera masyarakat setempat. Jika pelajaran-pelajaran di bangku sekolah yang berbau hard science mengalami perubahan kurikulum barangkali hal itu adalah sesuatu yang wajar mengingat substansi ilmu dan aplikasinya yang secara langsung dirasakan masyarakat. Akan tetapi, jika yang harus mengalami perubahan adalah muatan dalam materi pembelajaran sejarah ini adalah sesuatu yang benar-benar baru bahkan terasa aneh di telinga kita.

Susahnya Menjadi Guru Sejarah

Pelajaran sejarah di sekolah seringkali dipandang sebelah mata oleh peserta didik. Pelajaran Sejarah dipandang tidak lebih dari ‘pelengkap derita’ yang menjadi beban pelajaran bagi peserta didik. Posisi ini menyulitkan guru sejarah sebab sangat sulit memberi pencerahan sejarah kepada peserta didik yang telah kehilangan motivasi belajar. Pelajaran Sejarah juga tidak di- Ujian Nasional- kan, sehingga semakin memposisikan pelajaran sejarah sebagai pelajaran kelas dua.

Kini (pasca orde baru) beban guru sejarah semakin bertambah. Terjadi perubahan dan diskursus tentang kebenaran sejarah. Bahkan dikalangan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas semakin skeptis dengan kebenaran sejarah masa lalu bangsa Indonesia tercinta ini.

Siswa meragukan peristiwa G 30 S PKI, meragukan dan mempertanyakan posisi mantan Presiden Suharto, mempertanyakan Supersemar, dan lain sebagainya. Sementara di pihak guru sudah tertanam pemahaman yang sebaliknya, bagi sebagian guru peristiwa-peristiwa tersebut di atas adalah kebenaran sejarah, karena pelajaran di masa lalu -yang guru-guru peroleh- memang begitu adanya.

Keraguan-keraguan yang ada pada diri peserta didik sebetulnya energi bagi guru, utamanya guru sejarah, untuk memberi pencerahan peristiwa kepada peserta didik. Dalam konteks ini kita harus mengamini: siswa ragu maka siswa ada.

Yang menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana guru mengelola keraguan peserta didik tentang kebenaran sejarah ?. Tentu sangat tidak cukup hanya memberi apologi dalam mindset kebenaran sejarah yang kita(guru sejarah) anut.

Tjipta Lesmana (Kompas, 15 April 2008) dalam artikelnya yang berjudul HAM dan Kedewasaan Bangsa sedikit banyak memberi pencerahan kepada guru sejarah untuk merekonstruksi pembelajaran sejarah di kelas. Dalam artikel tersebut Tjipta Lesmana mengutip pendapat sejarawan Prancis abad ke -19 yakni F. Guizot yang menyatakan bahwa setiap masa (epoch) dapat dilihat dalam tiga sudut pandang.

Sudut pandang yang pertama adalah historical anatomy, yakni fakta seputar peristiwa sejarah, atau elemen material masa lampau. Sudut pandang yang kedua adalah historical physiology, yakni mengungkap hukum internal dan eksternal dibalik fakta yang diungkap. Dan yang ketiga adalah historical phisiognomy, yakni pengungkapan masa lampau dan masa kini.

Tentunya tiga sudut pandang yang menjadi kiat bagi guru untuk pencerahan sejarah kepada peserta didik sebagaimana teori F. Guizot di atas tidak mudah untuk dipraktikkan oleh guru sejarah di kelas. Alasannya, pertama; guru bukan pelaku atau saksi hidup peristiwa sejarah di masa lampau, guru hanya memperoleh dari text book versi pemerintah atau memperoleh narasi langsung dari rezim yang berkuasa, kedua; guru sejarah sedikit yang memiliki pemahaman hukum internal maupun eksternal yang berlaku atas peristiwa sejarah di masa lampau, ketiga; bagi sebagian besar guru sejarah, sejarah masa lalu telah tutup buku sehingga dikursus sejarah masa lalu selalu mengalami kuldesak (jalan buntu).

Menyadari realitas ini sudah semestinya guru sejarah mengupgrade kemampuan yang dimiliki atau melakukan approach by level (pendekatan dengan orang yang memiliki keahlian sesuai bidang kajian).

Guru sejarah harus kembali merenungkan fakta empiris peristiwa sejarah dan menggali meta realitas atas peristiwa sejarah yang terjadi. Guru sejarah juga harus belajar hukum internal dan eksternal atas peristiwa sejarah dengan pendekatan approach by level dan harus belajar untuk tidak truth claim (klaim kebenaran) atas pemahaman sejarah yang telah mendarah daging. Belajar dengan kaca mata jernih atas peristiwa sejarah penting untuk dilakukan karena sebagaimana F. Guizot bahwa sejarah bukan soal benar atau salah melainkan pada perspektif.

Melihat beban yang begitu banyak maka tidaklah mudah menjadi guru sejarah. Kini pelajaran sejarah bukan lagi kumpulan catatan peristiwa dimasa lalu yang mengandung unsur latar, tokoh, dan setting waktu yang harus dihafal oleh peserta didik untuk bekal menghadapi ujian akhir.

Pelajaran Sejarah sejatinya pelajaran yang komprehensif yang melibatkan kajian hukum, sosiologi, psikologi, dan tentu bernaung di bawah filsafat sebagai ibu ilmu pengetahuan (the mother of all science).

Inti dari pembelajaran sejarah di kelas adalah belajar meta realitas atas peristiwa sejarah yang terjadi untuk diambil nilai-nilai positif. Dengan pendewasaan sejarah kepada siswa maka debat kusir atas kebenaran sejarah di kelas tidak perlu lagi terulang.

Peristiwa sejarah selalu terkandung nilai (value bound) yang harus dipahami dan diaplikasikan oleh peserta didik dalam dunia nyata. Jika nilai ini benar-benar mendarah daging dalam diri peserta didik maka yang muncul adalah sikap toleran, tidak mudah menghakimi, dan open minded.

Sudah menjadi tugas guru (sejarah) untuk mengemban nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah sehingga terbentuk peserta didik yang memiliki virtues (kepribadian terpuji).

Sejarah Bima

Daerah bima yang sekarang ini merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Jaman Sejarah daerah ini diperkirakan dimulai pada abad 11 masehi yang ditandai oleh adanya Prasasti Batu Pahat yang ada di Sowa Kecamatan Soromandi.
Pada dasarnya, sejarah kerajaan Bima hanya diketahui secara dangkal, disebabkan pemerintah Belanda boleh dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah Bima. Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis. Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan. Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.
dalam perkembangan dewasa ini, Bima muncul dalam dua pemerintahan yang antara satu sama lainnya saling mengelola wilayahnya masing-masing. Kota Bima misalnya yang dinahkodai Oleh Noli (M. Noor Latief) membawa Bima kearah pembangunan yang signifikan walau dalam kenyataannya masih banyak terdapat kekurangan tau kecerobohan didalamnya. sementara Kabupaten Bima yang dinahkodai oleh seorang putra Keraton Bima yakni dae Feri (Ferri Zulkarnain ST) yang walupun nampak tidak ada kemajuan yang signifikan, namun dalam hal ini sosok dae feri sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakat dan dana rorasa sebagaimana dalam mottonya ederu nami sura dou labo dana. tapi mestinya kita harus padukan hal itu dengan Motto : "Mbojo Ndaiku, Mbojo Ndaimu, Nbojo Ndaita, Mai ta kabua kasama" yang berimplementasi kepada sebuah penyadaran diri bahwa dana Mbojo yang kita cintai ini merupakan tanah kita bersama dan tanah ini merupakan tanah leluhur yang memiliki/mantau falsafah Maja Labo Dahu ra Nggahi Rawi Pahu