Laman

Rabu, 28 Oktober 2009

Absolutisme Ulama

Di sadari atau tidak, mudahnya penerbitan fatwa-fatwa yang menyangkut masalah haram halal terhadap sesuatu yang berkembang baru di masyarakat sekarang ini lebih disebabkan oleh dampak kebebasan yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan seseorang. Kebebasan itu telah merasuk pada setiap lapisan masyarakat dalam berbagai segi kehidupan hingga mampu menyentuh pada tatanan yang sakral sekalipun, baik itu budaya yang berisi norma-norma luhur dan tak terkecuali agama.

Rendahnya kepedulian pemerintah terhadap nasib bangsa dan generasi mendatang, kekurang perhatian dan perlindungan terhadap rakyat juga menjadi faktor pendorong kebebasan baru ulama dalam berfatwa.

Masyarakat terutama pihak orang tua yang semakin resah terhadap perkembangan dunia yang mempengaruhi tindakan-tindakan anak tidak bisa lagi mempercayai pemerintah untuk menangani, hingga akhirnya kembalilah mereka pada ajaran agama dalam hal ini para ulama-lah yang memegang kekuasaan atas kendali itu .

Namun permasalahannya adalah tidak semua ulama rupanya mampu melihat lebih dalam terhadap pokok permasalahan yang sebenarnya. Kebijakan mereka yang hanya berlandaskan pada satu sudut pandang adalah kurang bijaksana.

Ada kecenderungan ketika ulama mengeluarkan fatwa hanya karena pengaruh psikologi dalam diri ulama tersebut, mereka seolah-olah sudah menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam ajaran agama yang berakibat pada kesombongan. Begitu mudah mengklaim haram atau halal secara sepihak yang kadangkala mengabaikan hak asasi yang dimiliki manusia. Bahkan kadang kekerasanpun tiba-tiba menjadi halal manakala ulama sudah memutuskannya.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketika ternyata mereka sebenarnya belum menguasai benar tentang hakikat agama itu sendiri. Ketika hal itu terjadi, segala keputusan hanya didasarkan pada nafsu belaka.

Hal-hal seperti itu banyak terjadi pada abad pertengahan ketika para petinggi agama duduk sejajar dengan raja. Semua yang tidak sependapat dengan diri mereka akan dianggap sebagai bid’ah. Ini terjadi di hampir semua agama dan negara.

Adanya kasus Galileo galilei, adanya kasus-kasus di kerajaan-kerajaan timur dulu yang memfatwakan bahwa seorang raja adalah titisan dewa, hingga kasus yang paling termasyhur dalam sejarah Islam di Timur tengah yaitu menghukum mati seorang cendikiawan muslim sufi Al Hallaj yang di klaim sebagai penganut ajaran sesat yang kemudian terulang kembali oleh kasus Siti Jenar di Demak hingga yang terakhir kasus Ahmadiyah .

Khusus untuk di Indonesia, ada indikasi kembalinya agama era sekarang ke zaman itu. Faktor ‘kekosongan kekuasaan’ yang menyebabkan masyarakat kehilangan pegangan hukum telah melahirkan penguasa-penguasa baru di negeri ini, dalam hal ini ulamalah yang mengambil alih ‘kekosongan kekuasaan’ itu.

Manakala itu terus berlanjut maka bukan kemajuan yang akan dicapai, sebaliknya kemunduranlah yang akan terjadi. Agama hanya akan menjadi objek kepentingan oleh suatu golongan atau individu. Agama akan dengan mudahnya diperalat oleh sebagian orang untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan.

Terlepas benar dan tidaknya setiap fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama ( karena hanya Tuhanlah yang tahu ), kemauan untuk membuka diri dan berdialog dengan semua pihak juga memahami benar-benar setiap permasalahan dan dampak negatif positif yang ditimbulkannya adalah hal yang harus dilakukan ulama saat ini agar tidak terjadi absolutisme dalam diri para ulama. Karena toh setiap kemajuan ilmu pengetahuan selalu menjadi pendukung terbukanya makna-makna tersembunyi dalam suatu ayat suci.

Hanya dengan begitulah maka cita-cita mewujudkan generasi yang kuat Imtak ( iman dan takwa ) dan Iptek ( ilmu pengetahuan dan teknologi ) akan tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap Tinggalkan Pesan ya Mas,Mba,bu,pa,om,non dll