Laman

Rabu, 06 Januari 2010

Matahari Terbit di Doro Londa

Buku Sejarah Daerah Bima
Judul : Matahari Terbit di Doro Londa




BAGIAN I
DORO LONDA
A. SEKILAS DAERAH BIMA
KONDISI GEOGRAFIS
Daerah Bima yang dikenal sebagai daerah kabupaten dan kota administrative sekarang merupakan daerah Swapraja Bima dahulunya. Menurut Mariam dalam Samudera , daerah Swapraja menurut undang-undang adalah daerah yang sebelum proklamasi kemerdekaan republik Indonesia di sebut zelfregerendegebiedsdecen atau dengan kata lain derah yang berpemerintahan sendiri.
Secara geografis, luas wilayah Bima sekitar 4.870 Km2 atau sama dengan 1/3 dari Pulau Sumbawa (15.087 Km2). Separuhnya (70%) wilayah Bima adalah dataran yang memiliki morfologi hutan bergunung-gunung dan berbukit-bukit, di sela-selanya terdapat sungai (besar dan kecil). Ada dua pegunungan didaerah ini yang menyimpan hawa panas, sehingga terjadi gunung merapi, yaitu gunung Sangia dan gunung Tambora. Adapun gunung Tambora terkenall dengan letusannya pada tahun 1815
Disamping itu, terdapat Pula sembilan gunung lainnya yang ketinggiannya berkisar 2.326-7.125 kaki dari permukaan laut, diantaranya: Gunung Soromandi, Ntonggu, Lambitu, Masa, Lambu, Pajo, Maria, Doro Londa dan Gunung Hasa. Masih banyak lagi gunung lainnya. Selain gunung, di daerah inipun terdapat 13 Sungai (kecil maupun besar), antara lain: Sungai Bontomaranu, Pali, Sonco, Donggo Bolo, Ncera, Rontu, Malaju, Daru, Sondo, Pandai, Parado, Belo dan Sungai Romo. Ke semua Sungai tersebut baermuara ke Teluk Bima. Semantara sisanya (30 %) dari wilayah Bima merupakan dataran rendah, lembah yang potensial untuk pertanian dan konsentrasi pemukiman.
Di bagian utara, Bima berbatasan dengan Laut Flores dan berbatasan debngan Dati II Dompu di sebelah barat, sementara di sebelah selatan berbatasan dengan laut Hindia, dan di batasi pula oleh Selat Sape di bagian Timurnya. Daerah Bima beriklim Tropis dan kering dengan curah hujan yang rendah rata-rata setahun hanya 4 bulan yakni pada bulan September sampai Maret.
KEADAAN KEMASYARAKATAN
Masyarakat di sebut dengan Dou Mbojo. Dou adalah orang dan Mbojo berarti Bima. Selain istialah dou Mbojo, ada juga istilah Dana Mbojo. Istilah ini menunjuk pada suatu wilayah yang dimiliki oleh kesatuan suku bangsa Mbojo . Lebih lanjut dijelaskan bahwa suku bangsa Mbojo merupakan satu kesatuan masyarakat sosial yang terkait oleh kesadaran akan kesatuan budaya dan adanya kesatuan bahasa. Bahasa Bima adalah bahasa yang dikenal dengan sebutan nggahi Mbojo yang di ucapkan oleh dua kabupaten di Nusa Tenggara Barat yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
N. Merewo menjelaskan bahwa masyarakat Bima adalah masyarakat yang ulet dan rajin. Hal tersebut dapat dilihat pada petikan kalimatnya di bawah ini:
Masyarakat Bima adalah masyarakat yang rajin, mereka bangun sangat pagi, bergegas ke sawah dan ke ladang, mereka menggarap tanah-tanah kering dan lembah tandus, menggali sumur, tertatih-tatih menitih tangga sedalam belasan meter hanya sekedar untuk menyirami tanaman. meraka menyulap tanah-tanah keringat menjadi tanah yang subur. Masyarakat Bima adalah masyarakat yang giat, segiat tanah yang mereka pijaki, masyarakat Bima adalah masyarakat yang ulet, walau hanya berekonomi pas-pasan, uang di dapat dari celah-celah batu hasil kedelai dan kacang tanah yang di tanam di celah-celah batu, meraka biasa melanjutkan anaknya ke perguruan tinggi hasil dari pada itu, manusia Bima berjiwa besar, mereka tetap bertahan di kampus walau uang tidak bisa lagi diandalkan, mereka pun masyarakat yang cukup adaptif, mereka berbaur dengan orang-orang di mana mereka berada. Orang Bima adalah orang alim sejak kecil mereka sudah diajar mengaji dan setelah besar bercita-cita naik haji
Pemaparan tersebut merupakan suatu hal nyata yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Bima, bayi yang ada di wilayah Bima maupun yang ada dilur wilayah Bima (Baca yang merantau). Lebih lanjut N. Marewo memaparkan tentang keadaan laki-laki dan perampuan sebagai berikut:
Wanita Bima umumnya mengenal budaya rimpu; yaitu budaya yang menutup kepala dan wajahnya dengan sarung (temge nggoli). Demikian pula laki-lakinya, mereka bersarung (katente tembe). Sarung nggoil yang mereka pakai adalah hasil tenunannya.
Budaya rimpu yang dimaksud di atas, merupakan budaya yang yercipta sejak zaman masuknya Islam di Biam yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir atau yang dilenal Mabata Wadu. Sementara tembe nggoli yang dimaksud diatas merupakan salah satu sarung khas tenunan masyarakat Bima.
Selain budaya rimpu, masyarakat Bima pun memiliki budaya ngoa Ra Tei Ba Dou Matua, yaitu budaya mengajarkan pada anak dan keturunan masyarakat Bima untuk mendengarkan nasehat orang tua. Seperti ungkapan Aminah bahwasannya budaya ngoa ra Tei Ba Dou Matua adalah nasehat orang tua kepada generasi muda yang melahirkan kepemimpinan tradisional Nggusu Waru (delapan butir) yang harus di miliki seorang anak Bima meliputi:
1. Mato’a di Ruma Labo Rasul (yang taat kepada Allah dan Rasul)
2. Maloa Ra Bade (yang cerdas dan berpengetahuan luas)
3. Mantiri Nggahi ra Kalampa (yang jujur dalam bicara dan berbuat)
4. Mapoda Nggahi Ra Paresa (yang menegakkan kebenaran)
5. Ma Mbani Ra Disa (yang gagah dan berani)
6. Ma Tenggo Ra Wale (yang kuat dan gigih berjuang)
7. Ma Bisa Ra Guna (yang sakti, berwibawa, kaharismatik, dan serba bisa)
8. Londo Dou Ma Taho (Yang keturunan baik-baik).
Berbeda dengan budaya rimpu budaya ngoara tei ba dou matua sampai sekarang ini tetap di pegang teguh oleh generasi muda (anak, cucu keturunan masyarakat Bima). Delapan butir isi budaya ngoa ra tei ba dou matua menjadi pegangan yang kuat bagi generasi muda di daerah ini. selain itu, di tambah pula oleh maja labo dahu, nggahi rawi pahu (malu dan takut, ucapan diimbangi perbuatan) yang mempertegas dan memperkokoh kepribadian ana dou Mbojo (turunan Bima) dalam melangkah dan bertindak.
Menurut Abdullah Tajib Masyarakat Bima memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya, yang dilihat pada beberapa bukti horizontalnya yaitu:
1. Karena kemakmuran, Bima menjadi gudang beras yang mensuplai persediaan beras kerajaan Goa sebagai alat (strategi) untuk melawan monopoli VOC di kawasan timur Nusantara.
2. Sara dana Mbojo (pemerintahan kerajaan Bima menolak menandatangani perjanjian Bongaya 1667 sebagai tanda menyerah kepada VOC.
3. Laskar Bima merebut kekuaaan dari pemerintahan Hindia Belanda di Bima pada tanggal 5 April 1942.
4. Bima dengan semangat Nasionalisme yang tangguh mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Pengalaman sejarah tersebut menjadi modal bagi masyarakat Bima untuk menjadikan Bima sebagai daerah kabupaten dan kota administrasi di wilayah propinsi Nusa Tenggara Barat.
B. KESULTANAN BIMA SEBELUM PENDUDUKAN JEPANG
Dalam pembabakan sejarah daerah Bima, terdapat lima zaman dalam perkembangannya. Pembabakan ini berdasar pada fakta atau realita yang terjadi di daerah Bima, adapun lima zaman itu adalah: “zaman Naka (masa pra sejarah), zaman Ncuhi (masa hidup berkelompok), zaman kerajaan, zaman Kesultanan dan zaman kemerdekaan.
Pada masa ncuhi terdapat lima Ncuhi, yang masing-masing memegang suatu wilayah kekuasaan meliputi daerah lembah dan pegunungan yang luas. Adapun kelima Ncuhi tersebut yaitu :
1. Ncuhi Dara memegeng kekuasaan wilayah tengah
2. Ncuhi Parewa memegang kekuasaan Wilayah Selatan.
3. Ncuhi Padolo memegang kekuasaan Wilayah Barat.
4. Ncuhi Banggapupa memegang wilayah kekuasaan Utara.
5. Ncuhi Doro Wuni memegang kekuasaan Wilayah Timur.
Sedangkan munculnya masa kerajan di Bima, Diawali oleh kedatangan seorang tokoh dari Jawa yang meletakkan batu pertama sekaligus membuka hubungan perdagangan dengan warga setempat, dialah Sang Bima yang mempersunting Putri Sari Naga yang kemudian melhirkan dua orang putra, masing-masing bernama Indra zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud kemudian dinobatkan oleh Ncuhi Dara sebagai raja pertama di Bima dan Indra Kumala menjadi raja pertama di Dompu .
Adapun jumlah raja di Kerajaan Bima yaitu Empat Belas orang dan raja terakhir adalah La Kai. La Kai inipun selanjutnya menjadi Sultan pertama di kesultanan Bima, Namanyapun kemudian diganti menurut budaya Islam yaitu Sultan Abdul Kahir dengan gelar Ma Bata Wadu. Sedangkan jumlah Sultan yang memerintah Kesultanan Bima sebanyak 13 orang, satu diantaranya adalah sultan perempuan yang bernama sultan komala Syah Bumi Partiga yang kemudian dipersunting oleh sulta Abdul Qudus di Gowa .
Pada tahun 1915, tonggak pimpinan Kesultanan Bima mulai dipegang oleh Muhammad Salahuddin sebagai Sultan, beliau menggantikan kedudukan ayahandnya Sultan Ibrahim yang mangkat pada tanggal 16 desember 1915. Sultan Muhammad salahuddin adalah orang yang sangat jenius “beliau juga adalah seorang yang Autodidak yang Ulet sehingga mamapu membaca huruf latin tampa melalui pendidikan Formal”
kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Sultam Muhammad Sallahuddin ini merupakan modal yang paling berharga dalam mrlngkapi diri guna mengemban tugas berat memimpin kesultanan Bima sebagai hawo Ro Niru (pengayom Rakyat).Selain memilik kecerdasan yang tinggi, beliau juga merupakan sosok manusia yang tegas. Hal itu beliau perlihatkan dengan melakukan penolakannya untuk bekerjasama dengan pemerintahan hindia Belanda.
Pada masa Sultan Muhammad Salahuddin inipula, Bima memebnagun tonggak sejarah dalam hal perlawanan terhadap Hindia Belanda, yaitu dengan melakukan aksi-aksi perebutan kekuasaan. tentu dengan adanya hal seperti ini suhu politik di daerah ini pun kian memanas dan terjadi kemelut politik.
pembentukan Komite Aksi yang diprakarsai oleh lascar-laskar Bima yang dipimpin oleh Mahmud Qasmir merupakan pelopor adanya aksi perebutan kekuasaan tersebut, dukungan dari sang Sultan pun mengalir untuk para lascar demi cita-cita memebebaskan Dou Mbojo (masyarakat Bima) dari penindasan dan sikap wewenang pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 5 April 1942 pada hari minggu pukul 07.00 Wita merupakan suatu hari yang direncanakan oleh paraa lascar untuk melakukan aksi perampasan kekuasaan itu, didalam melakukan aksi sudahlah tentu persiapan dala melakukan aksi begitu matang dipersiapkan dapat disimak melalui kalimat berikut :
Pada malam hari menjelang hari yang direncanalkan itu, Aritonang bersama dengan teman-temannya sserdadu NKIL yang berjiwa Nasionalis manawan komandannya seorang kapten berkebngsaan Belanda, Melucuti senjata serdadu KNIL lainnya. Setelah itu merekka membagi diri kesasaran-sasaran lainnya yang meliputi; Pusat alat komunikasi di Kota Bima, Tangsi polisi Raba, Rumah para pejabat Belanda, kantor sentral Telefon Raba, radio kamar bola dan Stasiun Tolomundo. Kemudian berusaha menahan yang ingin melarika ndiri supaya rencana tidak bocor .
Melihat pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa gerakan atau aksi yang dilakukan oleh para serdadu KNIL yang membelot ini tersusun rapi, dan tentunya telah diprhitungkan denga tepat, cermat dan teliti. Setiap tempat yang menjadi sasaran dalam aksi perebutan tersebut dikomandoi oleh seorang pemimpin lascar disetiap Regunya. Seperti ditangsi Plisi Raba, didalam melakukan aksi ini di pimpin oleh Aritonang, sementara di pusat alat komunikasi centeral telefon Raba dan Stasiun Tolomundu dipimpin oleh Muhammad Qasmir.
Aksi perebutan kekuasan yang dilakukan oleh para lascar pada hari minggu tanggal 5 april 1942 tersebut sangat berhasil, hal ini dilihat dari keberhasilan Laskar menahan beberapa pejabat dan orang-orang penting Belanda seperti : Mr. Hachman (Controleur Bima), karsedon (Agen KPM), Kemper (Inspektur polisi), Vander Capellen (Hoofd Opzieghter Bima), Muller (Hoofd Cipier Bima), dan Damal adu (Mantri Polisi). Ada juga yang lolos dan berhasil melarikan diri diantaranya : Pons (Administratur AVB=BRI), J.W. Ros (BochArchitecs Bima) atau yang lebih dikenal dengan Tuan jati Komba, serta H. E. Haak (Assinten Residen Sumba-Sumbawa) yang kebetulan pada saat aksi berada di Sumbawa.
Lolosnya tiga orang Belanda ini membawa dampak bagi kesultanan Bima. H. E. Haak, Asisten Residen Hindia Belanda Sumba-Sumbawa yang lolos dalam Aksi itu, mengadu pada Sultan Sumbawa (Kaharuddin) mengenai aksi yang dilancarkan oleh lascar Bima dengan berita bohong. H. E. Haak memberitakan bahwa aksi tersebut adalah aksi menentang Sultan Bima yang dilakukan oleh para lascar pemberontak, dan laskarpun berhasil menahan Sultan sebagai sandera. Apa yang diberitakan oleh asisten resinden ini tentu menbuat telinga Sultan Sumbawa menjadi panas (emosi), hal ini terjadi karena sultan Sumbawa merupakan Menantu dari Sultan Bima. Atas berita ini sultan Sumbawa berinisiatif untuk megirimkan cipier-cipier (polisi) Sumbawa untuk menghentikan aksi yang dilakukan oleh lascar Bima tersebut.
Mengenai pemberitaan bohong itu lebih jelasnya dapat dilihat pada petikan kalimat dibawah ini :
Di Sumbawa besar sedang dikembangkan issu bahwa sultan Bima sudah ditangkap beserta Orang-orang belanda dan dipenjarakan. Asisten Residen H. E. Haak minta bentuan Capier (polisi) Serta Serdadu KNIL untuk melepaskan Sultan Bima dan Orang-orang Belanda dari tangan pemberontak. Sultan Sumbawa pun terpancing issu tersebut, karena dia merupakan menantu sultan Bima. Polisi Sumbawa-pun di kerahkan, serangan balik ke Bima akan dilancarkan pada tanggal 12 apriil 1942 .
Apa yang direncanakan Oleh Sultan Sumbawa ternyata dapat diketahui oleh Sultan Bima. Informasi tersebut didapatkan lewat kerja keras para utusan lascar yang berhasil menyusup masuk ke Sumbawa. Hal ini sesuai dengan wawancara berikut :
Kami pergi ke Sumbawa untuk mencari informasi tentang apa yang akan dilakukan oleh beberapa orang yang berhasil meloloskan diri ke Sumbawa. Kemudian berita itu kami mengabarkannya pada Jeneli Kempo untuk segera melaporkan ke sanagji Mbojo (Sultan Bima) .
Laporan yang disampaikan oleh para Kurir kepada Jeneli Kempo yang kemudian dilanjutkannya kepada Sultan Bima, membawa sultan Bima mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat bersama dengan para lascar untuk menyusun strategi dalam rangka menghadang utusan dari sultan Sumbawa.
Lebih jelasnya tentang hal itu dapat di simak dari hasil wawancara dengan H. A. Wahab sebagai berikut :
Sebelum pergi menghadang di Sori Utu, pada waktu malam kami berkumpul bersama Sangaji Mbojo untuk membicarakan apa yang harus di perbuat. Setelah itu, Sangajipun melepas kami dengan sapaan lembo ade paja sara saramu, su`u pu sawa`u siapu sawale, parenta ra nggahi sara diru`u ba dou mamboto labo dana (sabar dan pasrahlah, junjung tinggi sekuat tenaga, tahan sedapat-dapatnya perintah pemerintah untuk orang banyak dan tanah leluhur).
Penuturan H. A. Wahab tersebut ternyata sependapat dengan pendangan Abdullah Tajib yang menjelaskan bahwa “lembo ade paja sara, su`u sawa`u sia sawale parenta sara di ru`u dou labo dana”. Hal ini pun kembali dipertegas oleh H.A Wahab yang merupakan salah satu pengurus (Ketua) Veteran kecamatan Bolo “sebagai masyarakat Bima yang menjunjung tinggi perintah agama dan patuh pada perintah pemimpin seyogyanyalah bagi kami yang memegang amanah untuk memperjuangkan kebebasan masarakat dari ketertindasan harus rela bekorban demi memperjuangkan hak hidup rakyat (masyarakat) Bima.
Dalam persiapan untuk menyongsong kedatangan pasukan dari sumbawa tersebut, menghasilkan kesepakatan untuk memebuat suatu lascar penagkal, adapun lascar penagkal yang dimaksud dalam rapat komite aksi bersama Sultan Bima tersebut adalah suatu laskar inti yang terdiri dari serdadu KNIL dan polisi yang berjiwa nasionalis yang dipimpin oleh Aritonang dan dibantu pula oleh pemuda-pemuda pergerakan yang tergabung dalam laskar Bima. Laskar ini di persiapkan untuk menghadang kedatangan pasukan dari Sumbawa dimanapun mereka bertemu, tanpa harus menunggu sampai mereka tiba di kota.
Setelah dipersilahkan oleh Sultan, pasukan (Laskar) Bima bergerak melintasi jalan lintas Sumbawa – Bima, Hingga pada subuh hari tepatnya di Sori Utu mereka melihat konvoi kendaraan dari arah yang berlawanan. Para Laskarpun mengatur siasat guna melakukan perlawanan. “Dimulai waktu subuh itu terjadi baku tembak antara pasukan Laskar Bima dengan pasukan sumbawa, yang menyebabkan La Dri (Idris Hakim) meninggal” .
Keterangan lain tentang peristiwa tersebut dapat disimak pada petikan kalimat berikut :
Pada malam buta, pasukan lascar Bima tiba di lembah hutan Sateppe di Sori Utu. Mereka berehnti di ujung jembatan, kemudian mengatur penyerangan di ujung timur jembatan untuk melekukan perlawanan. Ditengah gelapnya malam, terlihat sorotan lampu dari kejauhan memasuki ruas jalan menuju Banggo, hingga menjelang dini hari, pasukan Sumbawa mendekati jembatan dengan melaju sangat pelan dan lascar Bima tidak membuang-buang waktu, dan langsung melancarkan tembakan. baku tembakpun terjadi hingga menjelang siang hari .
ketika pertempuran sedang berlangsung sengit, lascar Bima tiba-tiba menghentikan pertempuran, sembari mengutus salah seorang dari mereka bertemu dengan pimpinan pasukan dari Sumbawa perihal perundingan antara kedua belah pihak dalam rangka penghentian tembak menembak. Utusan dari laskar Bima ternyata berhasil bertemu dengan pimpinan pasukan Sumbawa, dan kemudian kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan perundingan. perundingan itupun pada akhirnya mengahsilkkan kesepakatan untuk menghentikan pertemputan. Kedua belah pihak akhirnya Insyaf, setelah utusan pimpinan lascar Bima menjelaskan sebab musabab terjadinya pertempuran itu, yang ternyata hanyalah politik Devide et impera (adu domba) yang di lakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Namun demikian, pertempuran itu telah memembawa korban di kedua belah pihak yang terlibat. Dipihak Laskar Bima, salah seorang meninggal dunia yakni Idris hakim. hal itu diungkapkan oleh seorang Informan Hamilah , yang juga mengetahui secara langsung (saksi mata) ketika peristiwa tersebut terjadi dan bahkan dia memiliki hubungan kekeluargaan dengan korban (sebagai sepupu). Disamping korban yang meninggal dunia, ada juga yang terkena tembakan yang mengakibatkan luka-luka pada bagian tubuhnya, diantaranya M. Amin Dae Emo.
Sementara itu, dipihak pasukan sumbawa pun terdapat korban, yang diantaranya berkebangsaan Belanda (yang ketika pertempuran sedang berlngsung ditinggalkan oleh pasukan Sumbawa) yang diangkut oleh pasukan /lascar Bima bersama korban lainnya, seperti Idris Hakim dan M. Amin Dae Emo.
Setelah terjadi beberapa insiden (perlawanan) terhadap pemerintah kolonial Belanda antara lain pada tanggal 5 april 1942 yang ditengarai oleh komite aksi rakyat Bima (Laskar Bima), Belanda-pun akhirnya meninggalkan kesultanan Bima. Dengan demikian pengaruh dan kekuasaannya-pun berakhir. atau dengan kata lain rakyat Bima telah bebas dari belenggu penjajah yang telah lama memeporak-porandakan tatanan kehidupan sehari-hari dan berbagai dampak lainnya yang ditimbulkan selama penjajahan Belanda di Bima.
Kendati demikian, apakah berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi msyarakat Bima telah berakhir, atau justru akan memasuki fase baru dengan pelaku yang berbeda, namun tujuannya sama yakni mengadakan eksploitasi terhadap penduduk Bima. hal ini dapat kita lihat setelah Bima berada dalam Pendudukan Militer Jepang.
C. KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI BIMA SEBELUM PENDUDUKAN JEPANG
Masuknya Bima kedalam Pax Nederlandica (wilayah jajahan Hindia Belanda) pada tahun 1908 tidak luput dari sejumlah perlawanan rakyat, sebagai akkibat penolakan mereka terhadap pemerintah Hiindia Belanda yang melakukkan penarikan pajak (Balesting/pajak kepala) dan kerja paksa di Bima.
Empat kali perlawanan yang dilakukan rakyat Bima terhadap Belanda yakni (1). Pada tahun 1908-1909 yang dikenal dengan perang Ngali ; (2). Perang Rasanggaro yang terjadi di Tahun 1909-1910; (3). Perang dena yang terjadi dalam tahun 1910; dan (4) Perang yeng terjadi antara tahun 1909-1910 atau biasa di kenal dengan perang kala . Sudah barang tentu peperangan-peperangan tersebut berdampak pada tatanan kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat Bima. Mengenai hal ini sebagaimana yang diungkapka oleh H. Abdullah Husen , mengatakan bahwa :
Setelah perang Nggali, kehidupan masyarakat sangat memprihatinkan. Rumah-rumah penduduk di bakar habis, sawah-sawah kepunyaan masyarakat Ngali-pun dibagikan oleh Belanda kepada masyarakat lainnya (Renda-red), sehingga rakyat banyak menderita kelaparan, dalam hal ini yang terjadi di masyarakat Apapun dimakan, termasuk batang pohon pisang sekalipun.
Keterangan tersebut minimal dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat pada saat itu yang porak-poranda akibat perang. Lebih lanjut H. Abdullah Husen menuturkan (menggunakan bahasa daerah bima) bahwa :
“ Lewa Ngali ederu lewa makaringu dou kafi Balanda, dou Ngali ncimi ade wombo wunga mai Balanda, pala cumpu kai na re, ka`a deka ba dou Balanda rasa na re, na raka ra iu na dou Ngali, made mpoi dou Ngali”
Artinya :
Perang Ngali adalah perang yang mempermainkan orang kafir belanda, orang Ngali bersembunyi di kolom-kolom rumah dikala Belanda masuk menyerang, namun pada akhirnya Belanda membakar kampung Ngali .
Seperti halnya perang Ngali, perang Rasanggaro, Dena dan perang Kala juga membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan perekonomian masyarakat Bima umumnya dan khususnya di daerah terjadinya perang tersebut. Karena itu, tidak jarang di jumpai informasi lisan dari masyarakat setempat mengenai hal-hal itu ketika penulis mengadakan penelitian bahwa “keadaan ekonomi pada saat perang dengan belanda sama halnya dengan kondisi pada masa Jepang”. kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa dibandingkan masa penjajahan Belanda, maka pada masa pendudukan militer Jepang kehidupan masyarakat lebih sengsara. Apakah hal itu benar atau tidak ?, ini semua nantinya akan menjadi bahan kajian dalam pembahasan Buku mungil ini di bagian lain.
Berkaitan dengan keadaan ekonomi masyarakat Bima sebelum pendudukkan Militer Jepang, Hamila menceritakan tentang apa yang menjadi memori collective nya pada masa itu tentang prilaku Belanda dan Jepang sebagaimana berikut:
Antara perilaku Belanda dengan Jepang pada dasarnaya sama, mereka mengambil hak milik masyarakat seenak hatinya saja, Belanda menyuruh memebayar pajak yang tidak mungkin mampu di bayar oleh orang Bima, sementara Jepang mengambil tanah-tanah milik masyarakat, namun yang menbedakan keduanya adalah suara Tentara Jepang lebih keras daripada Tentara Belanda. Oleh karena itu, mereka yang berhadapan dengan tentara Jepang merasa takut sekali, selain karena suaranya yang keras, tindakannya juga terhadap penduduk sanggat kasar dibanding suara orang Belanda yang lembut tapi toh mematikan.
Kondisi perekonomian Bima Paska perang, ibarat “Telur di ujung tanduk”. Tatanan kehidupan mengalami kehancuran dan tatanan kehidupan social mengalami perubahan. Misalnya, azas hukum yang berlaku di daerah Bima, yang sebelumnya berdasarkan pada hukum adat dan agama (Islam), terpaksa harus diganti dengan azas hukum Hindia Belanda yang menggunakan Filosofi “Parang” (Tajam kebawah---rakyat, namun tumpul ke atas---orang-orang Belanda/pejabat pemerintahan). “Mahkamah tusyari`ah diubah menjadi (semacam) Badan social Keagamaan” .
Disamping perubahan landasan hukum masyarakat, posisi/kedudukan Sultan (Ibrahim) pada masa itu, pun berada dalam kendali efektif pemeriintahan Hindia Belanda. Segala hal yang berhubungan dengan urusan pemerintahan Kesultanan Bima diatur sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Sampai dengan mengkat (meninggal) nya Sultan Ibrahim pada tahun 1915. Sistem pemerintahan Kesultanan Bima tetap berada dalam pengawasan dan control penuh pemerintahan Hindia Belanda. Karena telah meninggal, maka kedudukan sultan Ibrahim digantikan oleh putranya yang ketika itu berusia 11 tahun yang bernama Muhammad Salahuddin. Pengangkatannya ditandai dengan acara pelantikan yang dilakukan oleh majelis Hadat Bima pada tanggal 16 Desember 1915. Tampilnya Muhammad Salahuddin sebagai pemegang kekuasaan pemerintah kesultanan Bima (yang masih di bawah pengaruh pemerintahan Hindia Belanda) diharapkan dapat memeperbaiki kondisi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat Bima. Kondisi ekonomi masyarakat Bima pada masa ini lebih lanjut dapat dilihat pada petikan kalimat berikut ini :
Rakyat Bima yang hampir seluruhnya miskin dengan penghasilan sebenggol atau segoba (F. 02,5) sehari mana mungkin dapat membayar pajak balesting (pajak per kepala) yang di tetapkan sebesar F. 250 per orang dewasa dalam setahun. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dicukupkan dengan sebenggol dan banyak pula yang berpuasa senen-kamis. hampir di seluruh rakyat Bima tidak pernah memegang uang yang namanya satu ketip (F.0,10), apalagi yang di sebut denagn rupiah atau runggit (F.1 dan F. 2,5). Rakyat Bima mengetahui pecahan mata uang Rimis, sen, gobang, kelip, tali, suku, Rupiah, ringgit dan uang emas melaui mata uang pelajaran berhitung di sekolah desa, namun kenyataanya mereka hanya menggenggam pecahan dari 1-4 (Rimis, sen, gobang, kelip) saja. Kesengsaran rakyat Bima semakin memberatkan lagi, karena zaman Malaise (Krisis) melanda wiilayah Hindia Belanda, bahkan seluruh dunia .
Penjelasan tersebut merupakan gambaran keadaan masyarakat Bima pada masa Sultan Ibrahim paska perang. Hal ini jelas merupakan tanggung jawab sultan selanjutnya, yakni sultan Muhammad Salahuddin sebagai penganti, yang menerima segala warisan pendahulunya, dalam hal ini keadaan sosial ekonomi masyarakat yang sangat memprihantinkan itu. Apakah penggantinya ini dapat membawa perubahan (kehidupan masyarakat Bima) kearah yang lebi baik dari pendahhulunya.
Tampaknya hal itu jauh dari apa yang di harapkan, sebab pada awal pemerintahannya, kedudukan Belanda di daerah ini semakin kuat dan kokoh saja, bahkan menguasai hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat. Jadi, masyarkat Bima-pun ibarat Tamu (yang di atur oleh orang lain) di rumahnya sendiri. walau demikian, dalam perkembangan selanjutnya masyarakat Bima tidak tinggal diam dalam artian menunggu tanpa pengharapan, gejolak perlawanan rakyat pun tidak dapat dielakkan lagi. Perlawanan terbuka di tengarai oleh rakyat Bima yang tergabung dalam satu komite aksi yang di kenal dengan nama Laskar Bima.
Perlawanan Laskkar Bima berhasil memporakk-poandakan pertahanan Belanda pada tanggal 5 April 1942. Para laskar juga berhasil menahan sejumlah pejabat penting pemerintahan Hindia Belanda, diantaranya; Mr. Hachman (Controleur Bima) dan Kemper (Inspektur capier Raba). Sejak saat itu, Bima terbebas dari belenggu penjajahan Belanda. Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama, sebab pemerintahan pendudukan Jepang yang menginjakkan kakinya di Bima pada tanggal 17 Juli 1942 pun bertindaj tidak sesuai dengan janji serta harapan yang diberitakan dalam propagandanya. Hal ini kembali mengarahkan masyarakat Bima kembali memasuki fase baru yang oleh sebagian masyarakat memandangnya (keluar dari bara dan masuk dalam kobaran api) dalam artian bahwa fase ini lebih sengasara di banding dengan masa pemerintahan sebelumnya yakni belanda. Persoalan inilah yang menjadi fokus kajian Tulisan Buku Mungil ini.






BAGIAN II
MATAHARI TERBIT

A. Kehadiran Militer Jepang
Keberhasilan Militer Jepang (Matahari Terbit) memporak-porandakan pangkalan Militer Amerika Serikat (Pearl Harlbour) pada tanggal 8 Desember 1941, membuat semangat tempur Militer Jepang semakin bertambah. “Tora…..Tora……Tora” (Tora berarti Harimau), ini merupakan kata sandi yang digunakan Militer Jepang ketika penyerangan itu terjadi. Peristiwa ini mengawali keterlibatan Militer Amerika Serikat dalam kancah Perang Dunia II (1942-1945), yang sebelumnya hanya bersikap pasif terhadap jalannya perang.
Setelah penyerangan itu, Militer Jepang mengalihkan perhatiannya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidak luput dari sasaran pendudukan. Kendatipun mengalami berbagai hambatan yang dihadapi dalam proses infasinya (antara lain beberapa kapalnya ditenggelamkan oleh Tentara Hindia Belanda pada bulan Januari dan Pebruari ketika ingin menerobos perairan Hindia), akhirnya berhasil menembus batas-batas itu yang ditandai dengan keberhasilannya menenggelamkan Kapal De Ruyter (Nahkoda Laksamana Karel dorman) yang bertugas mempertahankan laut Jawa. Maka sejak itu pula, Jepang memiliki akses untuk menduduki Pulau Jawa.
Gerak invasi Militer Jepang di Pulau Jawa diawali dengan pendudukan terhadap pangkalan udara di Kalijati (Jawa Barat) pada tanggal 5 Maret 1942. Pangkalan ini kemudian dijadikan sebagai basis dalam rangka pendudukan Daerah-daerah lainnya di Pulau Jawa.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Panglima Tentara ke-16 Jepang, Jenderal Imamura mengadakan perundingan pertama kalinya dengan pembesar-pembesar Hindia Belanda di Kalijati. Alhasil, Tanggal 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer dan Letnan Jenderal Ten Poorten, menandatangani perjanjian yang berisi penyerahan kekuasaan dari pemerintah Hindia Balanda kepada Pemerintah pendudukan Jepang. Dengan demikian sajak saat itu Hindia Belanda di bawah kendali pemerintah pendudukan Jepang.
Berbeda halnya dengan Belanda, ketika menguasai Indonesia (Hindia Belanda) hanya menjadikan satu-satunya Batavia (Jakarta) sebagai pusat pemerintahan, maka pemerintah Jepang selama pendudukannya membagi wilayah control atas tiga daerah, yang dikontrol atas dua arah, hal ini sesuai dengan penjelasan Kahin (1990 : 10), sebagai berikut:
Adapun pembagian yang dilakukan Jepang atas wilayak kontrolnya meliputi: Pertama. pemerintah pendudukan angkatan darat (AD) atau Rikugun dari tentara ke-25, yang berpusat di Bukit Tinggi dengan daerah operasi meliputi daerah Sumatera; Kedua. memerintah pendudukan AD dari tentara ke-16, dengan daerah operasi Pulau Jawa dan Madura, yang berpusat dijakarta; dan Ketiga. Pemerintah pendudukan angkatan laut (AL) atau Kaigun dari Armada Selatan yang berpusat di Makassar, dengan daerah operasi meliputi Daerah Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) dan Maluku.
Dilihat dari pembagian system control yang diciptakan, tampaknya Jepang mampu memahami kondisi geografis Indonesia dengan titik berat wilayah operasi disesuaikan dengan geografis masing-masing daerah.
Berdasarkan pada pembagian wilayah control pendudukan tersebut jelas bahwa kawasan Indonesia bagian timur berada di bawah control Armada (Anagkatan) Laut yang berpusat di Makassar. Setelah menduduki Sulawesi Selatan pada tanggal 9 Februari 1942, Jepang terus melakukan gerak invasinya ke Nusa Tenggara, antara lain Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT) serta Bima di Kepulauan Sumbawa.
Armada Laut Jepang di bawah pimpinan Kolonel Saito mendarat di Pelabuhan Bima pada tanggal 17 Juli 1942. Kesdatangannya di sambut baik oleh penduduk setempat, sekalipun mereka (masyarakat Bima) di selimiti rasa khawatir atas rencana Asisten Residen Belanda, H.E. Haak untuk kembali berkuasa di Bima (Tajib, 1995: 320). Karena itu dengan mudah Jepang menduduki Bima.
Meskipun pada awalnya pemerintah pendudukan Jepang tampil dengan “menawan” untuk dapat menarik simpati dan perhatian (dan menganggap dirinya sebagai “saudara tua”), namun akhirya kedok yang sesungguhnya ditampakkan melalui berbagai praktek yang dijalankannya. Hal ini menimbulkan terjadinya perubahan social dalam tatanan kehidupan masyarakat Bima
B. Pendudukan Militer Jepang di Indonesia
Sungguh menjadi momentum yang wajib dikenang dan diacungi jempol bagi bangsa-bangsa Asia lainnya tentang keberhasilan Militer Jepang dalam memporak-porandakan pangkalan Militer Amerika Serikat, Pearl Hearlbour di hawai (pasifik) pada tanggal 8 Desember 1941, hal ini kemudian merupakan langkah awal dalam mewujudkan cita-citanya dalam membangun sebuah imperium di Asia, sekaligus mengawali perang pasifik (perang Asia Timur Raya atau PD II di Eropa). Dalam penyerangan itu, kerugian yang daderita oleh kedua pihak tidak sedikit. Tajib menjelaskan hal yang dimaksud ialah sebagai berikut :
Dalam penyerangan itu kerugian yang diderita oleh pihak Amerika Serikatyakni 188 unit pesawat tempur hancur, 18 unit kapal perang tengelam, 159 unit pesawat rusak dilandasan, 2.403 orang AS tewas, akibat perang yang berlangsung sekitar 1 jam 59 menit (07.52-09.45). sementara di pihak jepang sendiri juga mengalami kerugian berupa 29 unit pesawat tempur hilang, 13 unit kapal selam tenggelam, serta 45 orang personil Angkatan Udara jepang Tewas.
Lima jam setelah penyerangan itu, Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborgh Stachouwwer di Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Jepang (Notososanto, 1993 : 1). kecaman tersebut tidak menyurutkan semangat militer Jepang Dalam melakukan gerak pendudukannya ke Indonesia (Hindia Belanda).
Gerak pendudukan Jepang di Indonesia disambut perang oleh Angkatan Laut (Marrine) Belanda dibawah pimpinan laksamana helfrich. Karena itu, terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak, dan peristiwa ini menyulut terjadinya perang pasifik.
Sejak itu, satu per satu wilayah kepulauan Indonesia di kuasai dan diduduki oleh Jepang mulai dari Tarakan, Balikpapan, Pontianak, Manado, Dan kendari pada bulan Januari 1942. Kemudia pada bulan berikutnya (Februari) berhasil menduduki samarinda, banjarmasin dan sulawesi selatan. Jawa barat, Jawa tengah, Jakarta, Lembang, dan Bandung berhasik di kuasai pada bulan Maret 1942, dan kemudian gerak pendudukanpun meliputi berbagai daerah lainnya di Indonesia, Baik yang masih maupun yang sudah tidak ditempati oleh belanda.
Pada tanggal 8 maret 1942, Letnan Jenderal Heir Ter Poorten selaku panglima Angkatan perang Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) dan atas nama angkaan perang sekutu di Indonesia menyerah tampa syarat kepada Angkatan perang Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Peristiwa ini terjadi kalijati (Jawa barat). Gubernur jenderal Hindia belanda, Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer menyerahkan pemerintahan Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Perihal penyerahan tersebut dapat disimak pada petikan kelimat yang diucapkan oleh Jenderal Imamura (Jepang) kepad Soekarno dalam sebuah pembicaraan mereka, sebagai berikut :
…Pada waktu tentara saya (Jenderal Imamura) mendaat di Jawa, pasukan hnaya tinggal beberapa Batalyon dan saya harus memecah-mecahnya lagi. Sebagaian mendarat di Jawa Barat, sebagian di Jawa tengah, sebagian di Jakarta, beberapa lagi di Banten. Yang langsung dibawah saya mendarat di Kalijati….sebelum pendaratan Kami, Gubernur Jenderal (belanda) sudah terbang ke bandung. Lalu saya saya mengadakan hubungan dengan bandung dan memerintahlkan ke Kalijati untuk suatu perundingan perdamaian …..”Nah, apakah Tuan sekarang akan menyerah ? kalau tidak, saya akan membom tuan sampai lemyap dari permukaan Bumi”. Dengan demikian di denanga Stafnya segera terburu-buru dan menyerah (Adams : 276)
Menyikapi sikap Jenderal Imamura, Soekarno kemudiian menjawab “saya berterimakasih kepada Tuan untuk selama-lamanya” (Adams, 1986 : 276). Sejak penyerahan belanda tampa syarat kepad Jepang padda tanggal 8 maret 1942 di Kalijati itu, maka sejal itu berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda, dan secara resmi daerah Hindia Belanda dikuasai Oleh Jepang. sejak itu, dimulainya masa pemerintaha pendudukan Tentara Jepang di Indonesia. kemudia tentara Jepang mulaii menyusun pemerintahan militernya yang di sesuaian dengan kepentingan dan strategi perangnya. jika pada masa pemeri ntahan Hindia Belanda hanya ada satu pemerintahan sipil sja untuk seluruh wilayah hindiia Belanda (Indonesia) yang berkedudukan pusat di Btavia, maka tampak perbedaan dengan masa pemerintahan militer Jepang.
Selama pemerintahah pendudukannya, Jepang membagi wilayah yang didudukinya menjadi tiga wilayah pendudukan yang dikontrol dari dua arah sebagaimana yang dikemukakan Sagimun (1989 : 37) yang senada denagan ungkapan Kahin (1990 : 10), sebagai berikut :
Pertama, pemerintahan Pendudukan Militer Angkatan Darat (AD) atau Rukugun dari tentara jepang ke-25, yang berpusat di Bukit Tinggi dengan daerah Operasi meliputi daerah Sumatera; kedua, pemerintaha Pendudukan Militer AD dari tentara ke-16, dengan daerah operasi Pulau Jawa dan Madura, yyang berpusat di Jakarta; Ketiga, pemerintahan pendudukan Militer Angkatan Laut (AL) atau Kaigun dari armada selatan kedua yang berpusat di Makassar, dengan daerah operasi meliputi daerah Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggra Timur), Irian, dan kepulauan Maluku.
Tampaknya pembagian system Kontrol tersebut diciptaka, sesuai dengan kondisi geografis Indonesia dengan titik wilayah operasi sesuai dengan geografis masing-masing daerah. Demikian pula denagn penempatan pusat control yang berbeda denngan Belanda, yeng menjadikan Batavia (Jakarta) sebagai satu-satunya pusat pemerintahan, sedangkan “Jepang membagi wilayah kontrolnya atas tiga dan masing-masing berpusat di bukut Tinggi, Jakarta, dan Makassar” (Sagimun, 1989 : 37)
Terhadap pembagian wilayah control tersebut menurut Ricklefs (1998 : 297) dan Notosusanto (1993 : 38) ternyata ada terjadi perbedaan :
……Yang mana Jepang cenderung untuk menganaktirikan wilayah yang dikontrol oleh kesatuan angkatan Laut. Bahkan, daerahnya justru dijadikan sebagai tenpat eksploitasi sumber daya alam bagi kepentingan pemerintahan pendudukan jepang dalam Rangka menghadapi perang Asia Timur Raya atau Dai Toa No senso.
Bima, dalam hal ini termasuk dalam wilayah Kontrol angkatan Laut (Kaigun). dengan demikian Biam merupakan salah satu wilayah yang dijadikan tempat eksploitasi sumbar daya alam da njuga sunber daya manusia. Hal yang terakhir terkait dengan upaya Jepang untuk memobilisasi penduduk, terutama dibidang kemiliteran, dengan cara menanamkan jiwa kesatria terhadap Pemerintahan jepang, yaitu dengan jalan memasukkan rakyat dalam organisasi-organisasi Militer yang dibentuk antara lain Heiho (Pembantu Prajurit Jepang), Keibodan (pembantu polisi) dan Seinendan (Barisan Pemuda).
selain itu, pengerahan sumbar daya alam pada masa pendudukan Militer Jepang dilakukan dengan cara kerja wajib tampa upah atau lebih dikenal dengan sebutan Romusha tanpa kecuali terhadap rakyat Indonesia. Dan paraktek Kinrohosi yang ditujukan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan para pegawai rendahan pada setiap daerah pendudukan seperti Pamong Praja.
Sementara menyangkut masalah paraktek Romusha, Sgimun (1989 : 41) memaparkannya sebagai berikut :
Praktek kerja Romusha di Indonesia, terutama dari pulau Jawa terjadi pengiriman sampai ke Singapura, Malaisia dan Burma untuk membangun jalan-jalan raya dan Kereta Api, yang menghubungkan Singapura dan Bangkok, Serta Singapura dan Rangon. Bahkan sampai sekarangpun sebagian dari mereka sudah menjadi warga Negara Malysia dan Muangtai.
Romusha juga dikirim ke pulau-pulau di Indonesia bagian timur (termasuk di kepulauan Sumbawa yang juga Bima yang didalamnya) dan di kepulauan pasifik untuk membantu tentara jepang guna memebangun kubu-kubu pertahanan dan lapangan-lapangan terbang.
Mengenai praktek Romusha, Sagimun (1989 : 41) lebih jauh memeberikan komparasi dengan praktek yeng di terapkan olehRezim Nazim Jerman, sebagaimana petikan kalimatnya :
Tenaga Romusha ini dapat disamakan denagn tenaga pekerja di Jerman NAZI, yang dikenal sbagai TODT ORGANISATION dibawah pimpinan Ir TODT, yang bertugas untuk membangun instalansi-instalansi Militer, pabrik-pabrik keperluan perang dan kebutuhan hidup, benteng-benteng, jembatan-jembatan, jalan-jalan dan lain-lain.
pendukung Jepang atas wilayah Bima diawali dengan pendaratan pasukan/tentara Jepang di pelabuhan Bima pada tanggal 17 juli 1942 dibawah pimpinan Kolonol Saito. Pada tahap awal kedatangannya, Jepang berupaya untuk enarik simpati rakyat Bima dengan cara menunjukkan sikap bersahabat dengan Rakyat agar dapat disambut dengan baik. Salah satu sikap yang ditempuh (secara umum di Indonesia) adalah mempropagandakan bahwa Jepang memiliki akar Budaya yang sama dengan bangsa-bangsa yang ada di Asia (termasuk Indonesia) dank arena itu Jepang akan menghilangkan seluruh unsur-unsur kolonialisme yang di bawa oleh bangsa Barat (Eropa) antara lain Belanda. Demikian pula rakyat Bima “tergiur” mendapat propaganda ini, sehingga awal kedatangannya (Jepang) mendapat sambutan baik dari Rakyat Bima.
Propaganda Jepang dalam rangka menciptakan lingkungan persemakmuran Asia Timur Raya ini sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf saleh sebgai berikut :
Dasar kedatangan Jepng di Bima ialah dengan melakukan kampnye-kampanye dengan suara-suara keras serta bernyanyi-nyanyi “Pandanglah fajar di laut Timur, matahari tertinggi bersinar-sinar, o…bagaimanapun juga di Gunung Fuju tidak ada cacat sedikitpun juga, inilah kehormaytan saudara Dai Nippo” (wawancara 30 mei 2005).
Lebih lanjut Yusuf Saleh Ubaraja (Salah seorang Laskar Bima yang terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Stasiun Radio Tolomundo Raba, pada tanggal 15 April 1942) menuturkan bahwa “saudara tua Dai Niippo datang ke Bima hanya untuk membantu rakyat mengusir Belanda”. Namun strategi Jepang disini tampak berbeda dengan penguasaannya terhadap daerah lainnya di Indonesia, karena disini justru Belanda telah meninggalkan Bima, setelah adanya perlawanan oleh lascar Bima pada tanggal 5 April 1942.
Terhadap informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun lascar Bima berperan dalam mengusir colonial Belanda di daerahnya, akan tetapi hal itu tidak terlepas dari keberadaan / posisi Belanda yang sudah terdesak ketika itu dari tentara Jepang. Hal ini dapat dibuktikan pada keberhasilan Jepang dalam menduduki beberapa daerah Strategis di Indonesia sebelum peristiwa perlawanan lascar Bima, tersebut, yakni pendudukan atas daerah Tarakan, Balikpapan, Pontianak, Manado, Kendari (januari). Samarinda, banjarmasin, Palembang, Sulawesi selatan (Februari). Jawa barat, Jawa Tengah, Jakarta, Lembang dan Bandung pada bulan Maret 1942.
Propaganda Jepang dalam rangka pendudukannya di Bima ternyata berhasil menarik simpati Sultan Bima (Muhammad Salahuddin) beserta Masyarakat Bima. “Kedatangan Jepang disambut dengan suka cita, sebab mereka mengatas namakan dirinya sebagai Saudara Tua” (Tajub, 1995 : 320).
Secara pribdi Kolonel Saito yang ketika itu memimpin pasukan Militer Jepang menyatakan simpatik dan penghargaannya kepada pemerintahan Kesultanan Bima dan juga terhadap Lakar Bima (Abdullah Muhammad, wawancara 31 Mei 2005). Penghargaan kepad lascar Bima didasarkan pada keberhasilannya dalam mengusir penjajah Belanda (Barat --- yang merupakan sasaran Jepang untuk kemudian menghilangkannya dari Asia), sehingga jepang tidak perlu lagi bersuah payah menghadapi Belanda.
Namun, hal ini menjadi lain kketika Militer Jepang menurunkan Bendera Kesultanan Bima yang kemudian digantikan dengan Bendera Hinomaru kekaisaran Jepang. Tenrulah wajah-wajah suka cita yang dimilik Sultan dam Masyarakat Bima tercengang dan juga berubah, apa gerangan yang terjadi, hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar yang terlontar dikalangan Masyarakat Bima, dengan mata melotot dan wajah muram durja Sultan dan Masyarakat menyaksikan ecara seksama peristiwa penurunan Bendera kebanagsaannya oleh Militer Jepang. A. Thalib A. Kadir (wawancara 26 mei 2005). Menyatakan kesaksiannya pada waktu penurunan bendera itu sebagai berikut :
Dalam hati kecilku waktu itu, tamatlah riwayat kita yang sudah berjuang mati-matian mengusir Belanda, kini sudah ada lagi yang berani menurunkan Bendera kebanggan kita.
Kebebasan yang di peroleh mulai tanggal 5 April 1942 ternyata hanya berumur 109 hari oleh karena adanya kehadiran Militer Jepang yang langsung menurunkan Bendera Kesultanan Bima yang sejak 109 hari itu pula berkibar di depan Istana Kesultanan Bima. Pemurunan Bendera kesultanan Bima dan kemudian digantikan Dengan kenaikan Bendera Hinomaru Jepang, Menurut M. Nor Husen ( wawancara 22 Mei 2005 ) “Merupakan suatu penguasaan yang dilakukan oleh Milter Jepang terhadap kesultanan Bima “. Hal senada juga dituturkan oleh M. Jafar (wawancara 2 Juni 2005), sebagi berikut :
Bahwa sekiranya pada saat penurunan bendera itu kami bersama-sama langsung melawan, mungkin kami akan berhasil mempertahankan bendera tersebut, namun kami tidak punya persiapan karena sebelumnya mereka memperlihatkan wajah simpatiknya.
Dibalik wajah simpatik yang dimiliki Saudara Tua ini, ternyata menyembunyikan sejuta watak asli yang dimilikinya. Oleh Tajib (1995: 321) menjelaskan watak asli saudara tua ini sebagai berikut :
Watak ciri asli Imperialisme Jepang ialah semata-mata menginginkan segala sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat Bima, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, kedok saudara tua pun tidak tersembunyi lagi di hadapan masyarakat Bima, lebih-lebihpada saat pasukan Nagkatan Darat dalam jumlah yang besar datang menggantikan posisi pasukan paying Angkatan Laut yang meletakkan batu dasar pendudukannya di Bima.
Melihat dari petikan kalimat diatas nampak bahwa kedatangan pasukan Anagkatan Darat Jepang dalam rangka menggantikan posisi pasuka Payung Angkatan Laut ialah ingin memperketat pengawasan di Daerah ini dan kedatangan mereka sangat banyak menyita dan mengambil harta milik rakyat, mereka mengeksploitasi hasil-hasil produksi rakyat untuk kepentingan Perang Asia Timur raya (Dai Toa No Senso).
C. PENDUDUKAN MILITER JEPANG DI BIMA
Pada tanggal 17 Juli 1942, pasukan Militer Angkatan Laut Jepang dibawah pimpinan Kolonel Saito mendarat di pelabuhan Bima. Pasukan Militer Jepang ini merupakan Pasukan dari Armada Laut Selatan kedua yang berkedudukan pusat di Makassar. “Dengan kehadiran MIliter Jepang ini Fase baru sejarah daerah Bima dimulai” (Ismail, 1996: 37).
Ditinjau dari segi goegrafis dan strategi pendudukan, daerah Bima tampak sangat strategis bagi Jepang sebagai loncatan bufferstate untuk melakukan gerak pendudukannya ke Australia dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Puluhan ribu tentara Jepang disiagakan di Bima, yang sebagian besarnya berada di daerah Rompo Karumbu yang terletak di wilayah bagian selatan Bima (Pulau Sumbawa), pantai Timur Lautan Hindia.
Kehadiran Militer Jepang di Bima oleh Tajib (1995: 320) melukiskan dengan kata-kata sebagai berikut :
…. dari pelabuhan Bima (pelabuhan Muhammad Salahuddin) Bala tentara Jepang dengan berjalan kaki, jalan menguasai ruas jalanan, mereka didahului oleh pasukan pelopor bersepeda motor. Sementara mobil Kolonel Sairo melaju dengan pelan-pelan menuju Istana Kesultanan Bima.
Kehadiran mereka pada awalnya begitu membahagiakan hati dan perasaan Sultan beserta Masyarakat Bima (Dou Dana Mbojo). Sebab, ketika itu ada rencana Asisten Residen pemerintahan Hindia Belanda, H. E. Haak yang memiliki keinginan untuk mengambil kembali tumpuk kekuasaan atas wilayah Kesultanan Bima.
Berbeda dengan daerah lainnya, kehadiran tentara Jepang di Bima tidak mendapat perlawanan dari pemerintahan Hindia Belanda (Tentara KNIL), sebab sebelumnya para orang orang kafir kulit putih itu telah berhasil diusir oleh Laskar Bima pada bulan April 1942. Hal ini tampak memberikan kemudahan bagi Jepang ketika memulai gerak pendudukannya di daerah ini.
Namun, seperti halnya pula wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, pendudukan Militer Jepang di wilayah ini didasari oleh kepentingan ekonomi, yankni untuk memeperoleh bahan baku industri guna memperkuat segala sesuatu (terutama bidang militer) dalam rengka menghadapi perang Asia Timur Raya. Untuk mencapai tujuannya tersebut, berbagai propaganda dilakukkan yang pada hakikatnya bagaimana mereka dapat menarik perhatian penduduk Pribumi, tempat yang menjadi sasaran eksploitasi.
Salah satu bentuk propaganda yang dilakukannya ialah keinginan untuk menghilangkan seluruh unsur Barat dari daratan Asia (Termasuk Indonesia ). Padahal, sesungguhnya Jepang justru merupakan Negara kapitalis-fasis yang sangat berbahaya. Hal itudapat di simak pada petikan kalimt berikut:
Mereka mengindoktirinasi melatih, dan mempersenjatai banyak dari generasi muda serta membewri kesempatan keoada pemimpin yang lebih tua (antara lain Soekarno) untuk menjalin hubungan dengan rakyat. Di seluruh Nusantara, mereka pun mempolitisasikan bangsa Indonesia sampai pada tingkat desa dengan sengaja dan dengan menghadapkan Indonesia pada rezim Kolonial yang bersifat sangat menindas dan merusak dalam sejarahnya. Dengan demikian, deasa-desa secara keras digoncang dengan kelesuan dan isolasi politik dari akhir periode Belanda, dan andaikan jika Jepang tidak kalah perang dan pembentukan kawasan Asia Timur Raya Tercapai, maka sedikit harapan bagi kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya (Ricklefs, 1998: 297).
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa kehadiran Militer Jepang di Indonesia tidak sungguh-sungguh mengusir Belanda, akan tetspi ada keinginan lainyang ingin mereka dapatkan atau yang di capainya, maka dari itu, mereka berusaha tampil dengan gaya yang sangat menawan. Fakta sejarah membuktukan bahwa setelah empat bulam pendudukannya terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap hasil alam Indonesia dalam rangka persiapan sumberdaya ekonomi menghadapi Perang Asia Timur Raya.
Sedangkan tindakannya itu dikalangan masyarakat Bima mulai dilakukan pada bulan ke dua (Agustus 1942), yang terhitung sejak awal kedatangan (Juli 1942) dalam masa pendudukannya, mereka banyak melakukan eksploitasi atas harta milik penduduk (mulai dari hasil peternakan, perkebunan, dan bahkan sampai pada besi tua sekalipun di kumpulkan) yang dikoordinir oleh para kempei Tai Melayu (polisi pribumi) tentang hal itu berikut petikan hasil wawancara dengan Zakaria (29 Mei 2005) :
Ipikai susa re anae…wunga edere, wara ku dae muna robo, lu’u karawi labo Nipo ma labo ama Mida, ndadi sarati ra janga ra sahe na weha sara’a weaku, au pawali bongi ra jago re ni, nakaboro sara’aku ta dou adae rasa ke.
Artinya:
Yang membuat susah waktu itu adalah ada orang yang bernama Dae Muna Robo menjadi kaki tangan Jepang bersama dengan ama Mida. Jadi, bebek, ayam, dan kerbau di ambilnya, apalagi beras dan jagung, semuanya di kumpulkan dari pendudduk kampong.
Petikan kalimat di atas minimal dapat memberikan gambaran betapa susahyna kehidupan masyarakat Bima pada pendudukan masyarakat Jepang dengan berbagai praktek yang dijalankannya, namun di situ juga dapat kita melihat adanya campur tangan warga pribumi yang dijadikan oleh pihak Jepang sebagai kaki-tangannya (mandor) dalam setiap melakukan tindakan-tindakan yang menyentuh dengan rakyat. Berbagai peristiwa yang terjadi telah meninggalkan kesan kolektif (memori Colective) bagi masyarakat Bima sampai sekarang.
Salah satu peristiwa yang cukup memilukan masyarakat Bima pada waktu itu ialah “belum beberapa lama Jepang menduduki daerah ini, mereka sudah mulai memberlakukan hukuman cambuk sampai mati yang seperti halnya mereka lakukan di Jepang” Tajib (1995: 321). Mengenai hukuman cambuk sampai mati ini br=erikut uraian hasil wawancara dengan seorang seorang informan :
Hukuman cambuk sampai mati oleh orang Jepang pertama kalinya dilakukan oleh seseorang yang bernama La Kahi yang mencari besi tua di kantor pemerintahan. Untuk La Kahi ini, orang Jepang menghukum tamap diperiksa terlebih dahulu. Ia langsung du hukum, dicambuk didepan rumah tinggalnya pimpinan orang Jepang (Kolonel Saito) do pandopo. Ia dicambuk dihadapan puluhan warga yang ketika itu langsung melihat hukuman yang dilakukan kepada La Kahi, semua yang melihat kejadian itu rata-rata meneteskan air matanya. Biarpun Dia telah pingsan, orang Jepang menyiramnya dengan air sampai akhirnya sadar kembali, kemudian hukumanpun dilanjutkan. Begitulah seterusnya, sampai ajalnya tiba atau meninggal. Setelah hukuman tersebut selesai, orang Jepang kembali menberi tahukan (dengan nada tegas yang memaksa) kepada mansyarakat yang menyaksikan atau melihat jalannya (Prosesi) hukuman itu dengan kalimat seperti : Siapa saja yang melakukan hal yang sama maka hukumnnyapun akan sama seperti apa yang anda sekalian lihat dan saksikan tadi. Hukuman demu hukuman terus dilakukan oleh orang Jepang terhadap masyarakat yang dianggapnya bersalah tampa melalui peradilan sebelumnya atau pemeriksaan yang diperuntukkan kepad masyarakat selama masa pemerintahnnay. (H. Hakim, wawancara 4 Juni 2005).
berdasarkan pada kenyaaan ini, nampak jelas bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Saudara Tua (Jepang) terhadap saudara mudanya. Hal itu lebih diperburuk lagi oleh adnya tindakan-tindakan pengambialihan kekuasaan, perampasan hak-hak penduduk (Termasuk hak Azazi Manusia) dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin mengokohkan wajah penjajah yang sesungguhnya yang telah mereka miliki. Hal itu menimbulkan kesengsaraan, kegelisahan dan ketidak nyamanan bagi masyarakat ssetiap harinya, karena dihantui oleh berbagai perasaan yang menakutkan terutama bila bertemu dengan pasukan tentara Jepang.
Menghadapi situasi demikian, Sultan Bima pun tidak dapat berbuat banyak terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah Pendudukan Jepang terhadap rakyatnya, sekalipun rakyatnya begitu tersiksa atas perlakuan jepang itu, terlebih lagi ketika diberlakukan praktek Romusha (Kerja Wajib) yang disertai kekerasan fisik dan tampa upah yang diterapka oleh tentara jepang tanpa terkecuali. Oleh karena tidak adanya perlawanana atau tangapan yang diberikan oleh Sultan yang dialamatkan untuk tentara Jepang, maka perlakuan tentara Jepang terhadap penduduk (masyarakat) pun semakin menjadi-jadi dan bertambah keras, serta jjumlah mereka semakin harinya semakin bertambah. Hal ini tentunya semakin mentulitkan bagi warga dalam hal ini untuk melakukan pembangkangan kerja ataupun perlawanan. Jika hal itu dilakukan, hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia, sebab kekuatan kedua belah pihak (dari segi persenjataan) tidak seimbang. Dalam rangka pendudukanya, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan pergantian personil. Adapun pegantian personil yang dimaksud adalah dimana pasukan yang sebelumnya dari kesatuan angkatan Laut dan kemudian digantikan oleh pasukan Angkatan Darat. “kehadiran pasukan Angkatan Darat yang secara besar-besaran itu datang mneggantikan possisi Angkatan Laut yang lebih dahulu datang di Bima” (Ismail, 1996 : 43)
Tampaknya pergantian ini merupakan strategi pendudukan daerah-daerah kepulauan (di kawasan timur Indonesia), Setelah daerah-daerah itu dikuasai, maka langkah selanjutnya diserahkan kepada personil Angkatan Darat, terutama jika sasaran pendudukannya adalah untuk mengadakan Eksploitasi sumber daya alam yang ada di Darat, atau dengan kata lain upaya pendudukan awal dirintis oleh kesatuan Tentara Angkatan Laut mengingat kondisi Geografis dan strategi penguasaan terhadap daerah-daerah kepuluan, dalam hal ini kepulauan Sumbawa (Bima-Nusa Tenggara Barat).
Setelah pergantian, maka seluruh aktifitas eksploitasi sumber daya Alam dikontrol dan dijalannkan oleh kesatuan Angkatan Darat. Banyak barang-barang milik masyarakat (Harta), hasil kebun-kebun turut disita untuk kepentingannya. Terhadap lahan-lahan (Milik warga) yang tidak digunakan untuk pembudidayaan tanaman dijadikan sebagai tempat untuk didirikan kamp-kamp petahanan guna mengantisipasi kedatangan musuh serta tempat mengontrol praktek kerja paksa (Romusha). Bahkan banyak sekolah-sekolah ditempati dan dijadikan sebagai gudang penyimpanan senjata yang akan digunakan dalam perang Asia Timur Raya.
Semakin bertambahnya jumlah personil Angkatan darat, maka semakin banyak pula wilayah Bima yang ditempatinya. Adapun Wilayah-wilayah yang menjadi pusat konsentrrasi Militer Jepang diBima, antara lain : Nggembe, Ntana, Ngali, Karumbu, Oi Mbolo, Belo, Rompo, dl. Tentara-tentara Jepang ini mengambil alih hampir seluruh kebun-kebun kepunyaan penduduk setempat secara paksa, bahkan mereka kerap melakukan pembunuhan terhadap rakyat jika rakyat yang bersangkutan tidak memeberikan atau dengan kata lain menolak keinginan-keingina tentara Jepang, dalam hal ini untuk mengambil dan menggunakan hak (Kebun) miliknya.
Dalam membut kamp-kamp pertahanan (sebagai pusat Strategi) Militernya, Jepang menggunakan tempat-tempat yang sebelumnya digunakan oleh Belanda (ketika menjajah Bima) sebagai pusat Strategi dan pertahan. selain itu, Jepang juga membangun sejumlah tempat-tempat (pos) pengitaian atau pos Bantu dalam mengontrol seluruh gerak penduduk dan juga musuh lainnya (diluar masyarakat Bima) yang jika datang mengancam kedudukan Jepang. Pembangunan Kamp-kamp tersebut dilakukan dengan mengerahkan tenaga masyarakat secara paksa. Lebih jauh tentang hal ini dapat disimak pada petikan hasil wawancara berikut ;
Wunga ede, lai sarae, dompo ra wa`a haju ra hanta wadu dikarawi sara`a ni, ngeri nari si sato`I re, na hinara ba cambo ra ka karaci miro ra gata roka ke.
Artinya :
Pada waktu itu, mengangkut pasir, mengangkat dan mengumpulkan kayu serta mengambil batu kami kerjakan semua, terlambat sedikit saja cambuk dari rotan dan karet datang menghantam punggung kami.(Maman Sulaiman, wawancara, 31 Mei 2005).
Tindakan-tindakan yang dilakukan dan di prakarsai oleh pemerintah pendudukan ini sangatlah tidak mengenal norma-norma dasar (Manusiawi) yang dimiliki manusia, mereka kerap memperlakukan manusia layaknya binatang yang begitu menjijikkan dihadapannya. melihat dari apa yang dilakukannya terhadap masyarakat, maka tidaklah salah pabila mereka banyak mengambil sikap meghindar (lari) jika bertemu dengan tentara Jepang untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntung-kan bagi mereka.
Disamping itu pula, pemerintahan militer Jepang juga melakukan kebijakan mobilitas penduduk yakni pengerahan tenaga secara paksa untuk mengerjakan lahan-lahan kebun yang telah diambil/diramppas dari penduduk. Bahkan, sebagian dari pemilik kebun itu terpaksa harus menjadi pekerja dilahannya sendiri, namun hasilnya (Bukan lagi untuk dirinya) melainkan untuk pemerintah pendudukan Jepang.
Dalam rangka penggerahan tenaga kerja dan kkontrol terhadap mereka, pemerintahan Militer Jepang menghimpun sebagian tokoh-tokoh/pemuda masyarakat setempat yang dipekerjakan sebagai pembantu Jepang (mandor) guna kelancaran program kkerja yang telah di tetapkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan dikatakan bahwa diantara mandor-mandor Jepang yang paling kejam menyiksa rakyat ialah La Sale Gata [Alm.H.M. Saleh Gata] (bertugas mengawasi Romusha di palibelo). Mandor ini nama sesungguhnya tidak menggunakan kata “Gata” dibelakang namanya, tetapi karena tindakannya yang selalu membawa karet (Gata-Bima) yang digunakan untuk memukul para pekerja (Romusha), sehingga namanyapun dujiluki dengan La Sale Gata.
Pelibatan sebagian para pemuka-pemuka manyarakat tersebut dimaksudkan agar pemerintah Pendudukan Jepang tidak bersentuhan (secara) langsung dengan masyarakat. Dengan demikkian, jika rakyat menderita dan kemudian marah yang disebabkan praktek kerja paksa, maka kemarahan mereka tidak dialamatkan secara langsung kepada ppemerintah pendudukan Jepang, melainkan akan ditujukan kepada para pemimpin/tokkoh masyarakat yang menjalanka tugas (atas nama jepang) control terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk.
Dalam kaitannya dengan letak Strategi daerah Bima sebagai Bufferstate dalam rangka gerak pendudukan dan pertahanan Jepang ke Australia, maka Bima harus didesain sedemikian rupa untuk dijadikan pusat pertahanan sementara. Palibelo (Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin-sekarang) yang ditinggalkan Belanda, diadakan kegiatan rehabilitas/perbaikan dengan mengerahkan tenaga kerja melalui praktek romusha. Setelah perbaikan, maka pesawat-pesawat Jepang berdatangan dan menddarat di bandara itu, “sedangkan khusus untuk perairan pantai Lewamori dijadikan sebagai pangkalan pesawat Amphibi tentara Jepang” (Tajib, 1995 : 321).
Selain merehabilitas lapangan udara palibelo, jepang juga mengadakan pelobangan gunung-gunung yang dijadika sebagai tempat perlindungan baterai penangkis udara serta tempat ppenyimpanan material logistic Perang. “Upaya pengerjaan lobang-lobang itu dikerjakan secara romusha oleh masyarakat Bima” (H. Abdullah, wawancara 31 Mei 2005).







Bagian III
REAKSI SULTAN DAN MASYARAKAT BIMA TERHADAP PENDUDUKAN MILITER JEPANG

Pada awal kedatangannya (Jepang), para pemimpin rakyat di berbagai daerah di Indonesia menerima dengan baik kehadiran mereka. Sebab, Jepang mempropagandakan lingkungan persemakmuran Asia Timur Raya sebagaiman termaktub dalam semboyan Hokka-ichi-u yang pernah diperintahkan oleh Jimmo Tenno bahwa bangsa jepang merupakan keluarga yang sah (bangsa lain tidak) dan berhak atas selur dunia agar dunia dapat disusunya sebagai satu keluarga dan Jepang sebagai pemimpin (Soebantardjo, 1962 : 14-15).
Propaganda yang dilakukan Jepang antara lain memberikan janji kemerdekaan bagi bangsa Indonesia kelak dikemudian hari, sekalipun menjelang kekalahannya dalam perang pasifik janji itu dibatalkan dan keinginannya untuk menghilangkan semua unsure perjanjian bangsa Barat (Eropa), yakni Belanda yang menjajah Indonesia ketika itu. “Untuk meyakinkan bangsa Indonesia akan propaganda-propaganda yang dilakukannya, Jepang membentuk sejumlah organisasi baik polotik (propaganda) maupun militter atau ketentaraan” (Notosusanto, 1993 : 27).
Ramalan jayabaya mengenai kedatangan bangsa kulit kuning (Jepang) di Indonesia hanya seumur Jagung dijadikannya juga sebagai salah satu upaya untuk meyakinkan keberadannya. hal itu sebagimana yang dijelaskan oleh Kertapati (2000 : 9) bahwa “ setelah seumur jagung (1000 hari) ….. Jepang akan kembali ke negerinya dan mengemalikan bangsa Indonesia kepada bangsa Indonesia sendiri “.
jika demikian, berarti bahwa masa penjajahan di indnesia akan segera berakhir dan tinggal menunggu waktunya saja. Hal tersebut membuat manyarakat Indonesia, terlebih lagi Bima, percaya bahwa jepan gmerupakan pembebas bagi bangsa Indonesia. Hal itu semakkin diperkuat pula dengan upaya jepang dalam mengambil alih tumpuk kekuasaan (pemrintahan) atas Indonesia dari tanggan Belanda yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, kedatangan merekapun didaerah Bima mendapat respon positif dari penguasa (sultan) dan masyarakat Bima, tampa adanya kecurugaan-kecurugaan sekalipun. sebab, tampak janji itu bbegitu meyakinkan dan membuat masyarakat Bima terbuai oleh janji-janji manis Jepang pada awal pendudukannya. Siakap pertama kalinya yang ditunjukkan Jepang atas niat baiknua itu ditunjukkan melui tindakan-tindakannya antara lain memberikan ppujian dan penghargaan kepad lascar Bima setelah melaui serangkaian perlawanan terhadap pemerintahan Hindia belanda di daerahnya.
Kendatipun demikian, ternyata kenyataan di kemudian menunjukkan lain. Niat suci Jepang itu ternyata di balut oleh kepentingan Ekspansionis yang lebih memebahayakan kehidupan Masyarkat Bima. Sikap rakyat Bima yang sebelumnya simpati dengan kedatangan Jepang akhirnya harus berbalik menjadi sikap yang antipati setelah pemerintah Militer Jepang menurunkan Bendera Kesultanan Bima. Namun Masyarakat bima ketika itu tidak dapat memberikan perlawanan, sebab mereka tidak mencurigai akl busuk dari pemerintah pendudukan Jepang, disamping kekuatan yang tidak mendukung untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah militer Jepang itu.
Senaddainya waktu penurunan bendera itu kami bersama-sama langsung melawannya, mungkin kkami akan berhasilmemepertahankan posisi bendera Kesultanan, namun kami tidak punya persiapan sebelumnya, karena mereka memprlihatkan wajah-wajah simpati kepad masyarakat (M. Jafar, wawancara 2 juni 2005).
Siakap antipati yang kedua kalinya pun muncul ketika Jepang ingin meminta dan mengambil gadis-gadis Bima untuk dijadikan sebagai pekerja di bar-bar dan melayani kepuasan tentara-tentara Jepang. secara spontan permintaan itu ditolah oleh masyarakat dan juga oleh pemerintahan Kesultanan Bima, sebab tidak ssesuai dengan tatna kehidupan sehari-hari, baik dalam hal agama islam maupun terkait dengan tatanan adapt mesyarakat Bima. Hal ini merupakan suatu pelaggaran dan sekaligus penghinanaan bagi masyarakat Bima. Mengenai bentuk reaksi Masyarakat dan pemerintahan keusltanan Bima yang dimaksud, dapat disimak paad petikan kelimat berikut ;
Menanggapi permintaan yang aneh itu, Sultan Muhammad Salahuddin berkonsultasi dengan Jeneli Rasa Na`e Abdul Muthalib dan kepala kampung Mpangga wawi menghadap pemerintah Militer Jepang. Mereka kemudian menyerahkan Keris terhunus dan bukannya gadis-gadis Bima (yang dikehendaki Jepang). (Tajin, 1995 : 325).
Selain reaksi dari sultan dan beberapa tokoh masyarakat, masyarakatpun memilih untuk melakukan Nika Baronta atau Kawin Berontak . Disinilah, tiadalah ada peristiwa yang paling sibuk bila dibandingkan dengan kesibukan rakyat yang memiliki anak gadisnya dalam mencarikan perjaka ataupun duda untuk menjadi suami dari anak gadisnya itu. Hj. Sitira (wawancara, 4 juni 2005) menuturkan bahwa “ada beberapa orang yang mengalami pernikahan berontak disini (Daru-Sila), orang tuanya sangt sibuk”. Ia mencontohkan seseorang yang bernama Aminah yang terpaksa harus dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki (yang telah mempunyai dua isteri) yang tida memilik anak yyang bernama Haji Mansyur. Kasus yang sama juga dijelaskan oleh Hamilah (wawancara, 30 Mei 2005), “dalam hal nikahberontak ini, orang tua dari pihak perempuan berusaha untuk mencari seorang laki-laki yang dijadika sebagai suami anak perempuannya”. Tampaknya kasus semacam ini juga sudah memebentuk memori kolektif yang masih teringgat sampai sekarang, betapa kawin beronta itu melanda masyarakat Bima.
Pada jjaman Jepang, bagi mereka (perempuan Bima), memiliki beban tersendiri, mereka selalu kawatir akan diambil oleh Nippo dan terpaksa harus menempuh cara Nikah Berontak, sehingga saat itu banyak anak-anak adis yang kawin dibawah Umur. bahkan kadang ada orang tua perempuan menempuh jalan melamarkan laki-laki untuk anak perempuannya, meskipun hal itu melanggar adat masyarakat setempat. Ada juga wanita dari golonhgan biasa yang bersedia mengorbankan diri manjadi Gundik Nippon, asalkan Nnippon tidak memasuki halaman Istana kesultanan dan tidak menngganggu Putri Sultan. Perempuan-perempuan ini dengan terpaksa melayani kepuasan Tentara Nippon dari satu tempat ke tampat lainnya (Aminah Dallam samudera, 1999 : 73).
petikan kalimat tersebut menunjukkan betapa terjadi Gonjangan bathin di kalangan gadis-gadis Bima, oleh karena harus manikah di bawah umur dan melanggar adat sekalipun. Sementara di satu sisi perempuan-perempuan dari glongan masyarakat biasa terpaksa harus merelakan dirinya menjadi para Gundik demi menjaga kesucian Putri Sultan. Hal yang terakhir ini berkaitan dengan upaya mempertahankan kewibawaan kesultanan Bima yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Tindakan-tindakan yang semakin membuat sikap antipati terhadap pemerintah pendudukan Jepang dikalangan masyarakat Bima ialah pelaksanaan kerja paksa atau romusha dan penggambil alihan harta benda milik masyarakat oleh pemerintahan jepang. Berbagai tindakan yang dialamatkan kepad masyarakat Bima tersebut pada kahirnya berbuntut terjadinya sikap pembangkangan terhadapt kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang oleh masyarakat Bima yang ditengarai oleh para lascar.
Siakap pembangkangan itu dilakukan dengan aksi-aksi Gerilya pada malam hari, dengan tujuan utama yaitu tempat-tempat penyimpanan senjata tentara Jepang, adapun aksi itu seperti yang dilakukan oleh masyarakat yang terjadi di sekitar Temba Oi Mbo Nggaro Lembo Nggembe. Aksi masyarakat yang dilakukan oleh pasuka Laskar Bima. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh salah seorang informan :
Pada malam itu, kami melakukan pencurian senjata dibawah pimpinan yasin Bakara. Banyak tentara Nippon yang kami bunuh dan mayatnya dimasukkan kedala sumur, kemudian dibakar. ini di lakukan atas kerjasama antara tentara Heiho dan Laskar Bima (mantan tentara KNIL yang nasionalis) (Yusuf Saleh, wawancara 30 Mei 2005).
Aksi serupa juga terjadi didaerah Ntana-Donggo, ketika tentara-tentara Nippon sedang tertidur. Setelah melakukan aksinya dan berhasil memebunuh beberapa orang tentara Nippon, mereka yang terlibat dalam aksi penyerangan itu kemudian lari masuk ke hutan dan bersembunyi. (Ibrahim Samiun, wawancara 1 Juni 2005). meskipun tidak disajikan semua kasus-kasus yang terjadi sehubungan dengan aksi perlawanan rakyat terhadap tentara Jepang, namun minimal kedua kasus tersebut dapat memeberikan gambaran tentang bentuk reaksi masyarakat Bima terhadap mereka. Dan selama terjadinya aksi-aksi perlawanan tersebut, sumuanya dilakukan dengan taktik Gerilya atau tidak berhadapan secara langsung dalam sebuah pertempuran malawan tentara Nippon.
Cara tersebut ditempuh oleh karena kekuatan kedua belah pihak tidak seimbang, sehibbg tidak memungkinkan terjadinya perang terbuka. hal ini ternyata disadari oleh lascar dan masyarakat Bima yang melakukan gerakan perlawanan secara tersembunyi yang menggunakan taktik gerilya.
Taktik gerilya yang dimaksud ialah menyerang ketika musuh dalam keadaan tidak siap/tidak lengah (antara lain tidur) dan menyinggkir ketika musuh dalam keadaan sia/siaga. Untuk melakukan taktik ini, tentunya yang perlu diketahui ialah pusatipusat kekuatan musuh dan tempat-tempat yang menjadi sasaran penyerangan nantinya, agar aksi yang dilakukan tidak diketahui oleh tentara Jepang karena tidak memungkinkan bagi (Laskar) mereka untuk berhadapan langsung dengan pihak Jepang.
Meskipun lascar dan masyarakat Bima telah berupaya sedemikian rupa untuk menghindari bertatap muka langsung dengan tentara Jepng, namun hal itupun terjadi dan dialami oleh salah seorang warga bernama Ama Mila La Mano ketika melakukan aksi penyerangannya terhadap tentara Jepang, sebagaimana yang ditutrkan oleh H. Abdullah, bahwa :
Setela diketahui mencuri senjata Kamp militer Jepang di bajo, Ama Mila La Mano ditangkap oleh tentara Jeppang dan dibawa kekota Bima. Sesampainya disana, ia dipukul oleh tentara-tentara Jepang, dan setelah itu ia dibuang ke Sumba Barat. (H. Abdullah, wawancara 1 Juni 2005)
tindakan-tindakan Militer Jepang yang bentuknya menindas dan Mengeksploitasi masih tetap berklangsung sekalipun sudah terdengar berita tentang kekalahan Jepang dalam perang melawan sekutu dengan kalimat Nippon Banjai Dense (Nippon telah kalah). setelah mendengar berita kekalahan itu, pemuka-pemuka masyarakat Bima menandatangani pimpinan tertinggi pemerintah pendudukan Jepang atas Pulau Sumbawa Timur, Jenderl Mayor Tanaka pada akhir bulan Agustus 1945 di Raba (Tajib, 1995 : 331). maksud kedatangan mereka ialah mendesak agar memerintah pendudukan Jepang segera menyerahkan kembali tumpukKekuasaan dan urusan kepemerintahan (meinseibu) kepada Sultan Bima.
Mengingat posisinya yang sudah terdesak, akhirnya jenderal Mayor Tanaka menyerahkan kekuasaan pemerintahan Meinseibu (Urusan pemerintahan sipil) kepad Sultan Bima pada tanggal 31 Agustus 1945. dengan demikian, sejak itu kekuasaan pemerintahan kembali di ambil aluh oleh kesultanan Bima dan dijalankan sesuai dengan tatanan pemetintahan Kesultanan Bima (seperti yang dijalankan sebelum kedatangan Belanda dan Jepang di Bima) yang ddaerahnya meliputi Bima dan daerah Dompu.







Bagian IV
DAMPAK PENDUDUKAN MILITER JEPANG DI BIMA

Keberadaan Jepang dimanapun di Indonesia tampak telah menimbulkan terjadinya perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini tidak dibayangkan sebelumnya oleh Rakyat Indonesia, sebab kedatangan Jepang diibalut dengan propagandan dan janji-janji manis yang cukup menggiurkan, bukan hanya dikalangan rakyat biasa, para pemimpin bangsa (ketika itu) sekalipun juga tergiur, seperti Soekatno dan Hatta. Kedua tokoh ini pada masa penjajahan Belanda sangat gentol menyuarakan penbebasan Bangsa Indonesia dari penindasan bangsa lain tanpa terkecuali (Bangsa Asia seperti Jepang). Namun, sikap itu melunak ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kelak dikemudian hari.
Tehadap tindakan tersebut harus dilihat secara Holistik (utuh) dan tidak secara Parsial (terpisah). Sebab, disatu sisi (yang tidak dapat diabaikan) ialah bahwa keberadaan jepang di Indonesia telah melahirkan jiwa Patriotisme dikalangan penduduk Pribumi setelah mereka mengikuti serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang, antara lain di bidang Kemiliteran. Lebih jelasnya tentang dampak yang ditimbulkan itu akan ada pada pembahasan berikut.
A. KEHIDUPAN SOSIAL
Kawin berontak (Nika Baronta) merupakan sallah satu masalah social yang timbul pada masa pemerintahan pendudukan Jepang di Bima. Terjadinya Nika Baronta disebabakan adnya keinginan tentara jepang untuk mengambil dan memeperkerjakan gadis-gadis Bima di bar-bar dan sekkaligus melayani kepuasan hawa nafsu tentara Jepang.
kkeinginan tersebut mendapar tantangan dari pemerintah Kesultanan Bima yang fanatic dengan agama Iaslam dan adapt setempat yang dijunjungnya. Attas dasar agama dan adapt itulah, masyarakat Bima lebih memilih untuk melakukan Nika Baronta, sekalipun terkadang harus berseberangan dengan adapt yang mereka pahami selama ini. Olah Karena keadaan yang terjepit dan mendesak, sebagian dari orang tua (yang anak Gadisnya belum menikah) terpaksa harus (melanggar adat) mencarikan laki-laki Bima untuk dijadikan sebagai suami dari anak-anak gadis mereka. Bahkan, seorang lelaki yang sudah punya Isteri sekalipu rela dijadakn sebagai suami anak Gadisnya. Samapai pada tahap ini pertimbangan adat tampaknya “diabaikan” seemntara waktu, daripada anak gadisnya harus diserserehkan kepada tentara-tertara Jepang untuk dijadikan penghibur pada tempat-tempat yang telah ditentukan.
Hal lain yang dilakukan oleh pemerintah penduduka jepang terhadap rakyat Bima adalah praktek kerja Wajib atau Romusha yakni pengerahan tenaga secara besar-besaran dengan secara paksa untuk mengerjakan pekerjaan pembangunan jalan-jjalan, benteng-benteng pertahanan, pos-pos kamp tentara jepang, pembudidayaan tanaman, yang diharuskan kepad semua masyarakat Bima. Jika ada masyarakat yang melawan atau tidak mau bekerja sesuai dengan indtruksi tentara Jepang, mereka mendapat siksaan (pukulan) dan bahkan tidak segan tentara Jepang melakukan pembunuhan kepad yang bersangkutan.
Tindakan tersebut suungguh merupakan sesuatu yang tidak manusiawi, seperti ungkapan J. J Rosseau dalam Bukunya de Contrac Social bahwa “ setiap mmanusia mempunyai hak-hak yang sama dalam hal kebebasan, persamaan hak dan kemerdekaan”. Namun demikian, hal itu tidak mendapat perhatian dari tentara Jepang, sebab yang terpenting bagi mereka ialah bagaiman cara melakukan mobilisasi sumber daya manusia dan sumber daya Alam yang ada demi kepentingannya dalam menciptakan lingkungan persemakmuran Asia Timur Raya dibawah pimpinan jepang sebagai The Leader of Asia, the flight of Asia, and the protector of Asia. “Secara ekonomis memang Indonesia cukup menyediakan sumber daya alam yang memadai sebagai baham mentah kebutuhan Industri Jepang” Djumhur (1974 : 195).
Dalam sector pendidikan pada masa (jepang) ini terjadi perubahan-perubahan yang mendasar. Untuk mengetahui hal itu kita lihat hasil wawancara berikut :
Orang Jepang waktu itu tidak melakukan pembedaan antara sekolahnya orang-orang kaya dengan orang Miskin (dualisme penddidikan) seperti yang pernah dilakukan oleh orang Belanda terhadap orang Bima. Orang jepang juga memberikan kebebasan bagi masyarkat Bima untuk menggunakan bahasa Indonesia, (walau bahasa Bima sekalipun), baik sebagai bahasa resmi sehari-hari maupun sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Namun, dalam perkkenbangan selanjutnya bahasa Jepang juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi paar pekerja, walaupun ada kebebasan yang diberikan oleh orang jepang menyangkut masalah pendidkan, namun anak-anak yang mau sekolah pada masa itu kurang.(H. Ishaka, wawancara 30 mei 2005).
tidak hanya itu, suuatu jenjan gpendidikan sekalipun diganti dari bahasa belanda menjadi bahasa Jepang. Hal ini sesuai dengan ungkapan Tajib (1995 : 323) dan Depdikbud dalam Intan D. K (2005 : 62) sebagai berikut :
Hollands Inlandse Schoo (HIS)--- lama pendiddika 7 tahun, dirubaha menjadi Kokumin Gakko, Vervoolk School menjadi Futsu Kugakko, sekolah Guru atau Kweek School menjadi syoto Sihau gakko atau Kyom Yoseiso, madrasah Islam menjadi Islam Gakkuia, sekolah pertukanhgan menjadi Kagyo gakko, sekolah tehnik menengan menjadi kagio Somen Gakko dan sekolah pertanian menjadi Nogyo Gakko.
Didalam bidang bina raga (olah raga) pun, pemerintah jepan gmemeberikan latihan kepada masyarakat yakni Taiso (senam) dan Tenko (apel pagi), yang diwajinbkan kepad setiap pelajar (siswa) sebelum mereka memasuki ruangan (kelas). demikian pula pada pagi hari, pengibaran bendera Jepang HINOMARU sudah menjadi keharusan. dan diiringi dengan lagu kebbangsaan Jepang KIMIGAYO. Masih dalam rangkaian apel pagi, diakgiri dengan KENKEIRI yaitu para peserta (siswa) diharuskan menghadap matahari terbit (mnegheningkan cipta) dalam rangka menajatkan keselamatan atas Tenno Heika (pimpinan tertinggi yang dianggap sebagai titisan dewa bagi masyarakat Jepang) yang berada di Tokyo. Para siswa juga diharuskan untuk mennguasai bahasa Jepang dan naynyian-nyanyian yang berorientasi pada penyanjungan bangsa Jepang seperti yang sempat dinyanyikan oleh Yusuf Saleh Ubaraja ketika diwawancarai (30 mei 2005) dengan Syairnya :
Pandanglah fajar di laut timur,
Matahari tertinggi bersinar-sinar
O… bagaimana juga di gunung fuji
tiada cacat sedikit juga,
inilah kehormatan saudara Dai Nippon
Penggunaan bahasa Jepang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mamiliki tujuan agar masyarakat “menyatu” jiwanya dengan tata cara dan pola hidup bangsa Jepang.
B. KONDISI PEREKONOMIAN
Pada awal kedatangannya, pemerintahan pendudukan Jepang belum manampakkan kegiatan yang bersentuhan dengan perekonomian masyarakat Bima. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab “memasuki bulan kedua esjak kedatangannya di Bima, Jepang sudah mulai menyentuh persoalan-persoalan Ekonomi yang ditanadai dengan instruksi menanam pohon Jarak” Ismail (1996 : 12). Instruksi pemerintah Militer Jepang ini untuk menanam pohon jarak adalah guna memenuhi keperluan perang Asia Tinmur Raya. Pohon Jarak ini sangat berguna bagi Militer Jepang yakni dipergunakan sebagai bahan bakar pesawat terbang Angkatan Udara jepang.
Instruksi tersebut embuat rakyat harus melakukan aktufitas penanaman jarak agar terhindar dari tindakan-tindakan (hukuman) tentara jepang. Dampaknya bagi masyarakat ialah semakin semiptnya lahan pertanian masyarakat yang digunakannya untuk menanam padi, jagung, sayur dan lain sebagainya. Sesuai denagn Instruksinya, 75% tanah milik rakyat harus ditanami pohon Jarak selebihnya itu digunakan uttuk menanam tanaman lainnya (H. Hakim, wawancara 4 Juni 2005). Dengan demikian, hal itu tentunya memepengaruhi hasil produksi pertanian Masyarakat.
perlu diketahui bahwa, Bima merupakan salah satu daerah yang sebagian besar pernghasilnnya dari sector pertanian, denagn dikeluarkannya instruksinya tersebut secara otomatis memepengaruhi pula kondisi perekonomian masyarakat. Penanaman pohon jarak memang tidak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Bima sebab tidak dapat dikonsumsi (secara langsung) untuk keperluan hidup sehari-hari. “Bagi mereka yang memiliki lahan untuk menanam pohion jarak, diwajibkan kepadanya untuk menanam dilingkungan (halaman) rumahnya” (landa Ubala Unu, wawancara 21 Mei 2005).
Selai itu, pemerintahan pendudukan Jepang juga merampas harta benda kepunyaan penduduk yang digunakan untuk meyuplai bahan makanan selama berlangsungnya perang Asia Timur Raya. Mengenai hal itu dapat disimak pada kalimat berikut :
Beras dan bahan pokok keprluan sehari-hari hilang dari pasaran sementara padi yang disembunyikan dirumah-rumah penduduk dan lumbung padi diperiksa oleh Kempeitai serta dicatat. Tidak lama berselang, kempitaipun datang unutk mengambil barang-barang tersebut guna keperluan perang. Sementara Sawah tidak dapat digarap dengan baik, sebeb nmasyarakat selalu diliputi perasan takut akan serangan udara sewaktuu-waktu. Ditambah pula kenyataan yang harus mereka terima, yakni ketika datang musim panen, kempitai datang mencatat hasil ppanen dan selanjutnya diangkut untuk kepentingan saudara Tua. (Tajib, 1995 : 323).
Petika kalimt tersebut menunjukkan betapa dlematisnya posisi masyarakat Bima dalam menghadapi kebijakan-kebijakan pemerintahan penddukan Jepang. Barang-barang yang disimpan dan disembunyukanpun dicari oleh petugas-petugas mereka, barand-barang itu kemudian disita dengan alasan diberikan kepada kakak tertua (saudara Tua).
Keberhasilan dalam melakukan pencarian barang-berang kepunyaan masyarakat tersebut tidak terlepas dari keberadaan penduduk setempat yang merupakan “kaki tangan” atau orang yang diperkerjakan oleh pemerintah jepang. Dnagn adanya mereka ini membuat masyarakat keuslitan untuk menyembunyikan harta bendanya walau dimanapun.
Pengangkatan beberapa orang warga dalam system pendudukan jepang tujuannya adalah agar jepang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam hal kebijakan yang dikeluarkannya. Alhasil, bila masyarakat marah dan mencoba melawan dengan dalih penderitaan dan kesengsaran mereka tentu akan marah dengan para kempitai tersebut yang jelas-jelas sama statusnya seperti mereka (masyarakat) sebagai sekaum dan bahkan masih memepunyai hubungan kekeluargaan dengan wagra yang diperintahkan untuk bekerja. Denagan demikian pemerintahan jepang terhindar dari ancaman-ancaman yang sewaktu-waktu datang yang terkait dengan kebijakan praktek kerja Wajib (Romusha) dan berbagaai kebijakan lainnya.
seperti yang dijelaskan sebelumnya, Bima memiliki posisi yang sangan strategiis bagi jepang dalam melakukan gerak pendudukanya ke Australia, posisi strategi ini trntunya menguntungkan bagi Jepang. Tetapi sebalikknya, hal itu menjadi ancaman bagi masyarakat Bima, sebeb wilayahnta tidak luput dari serangn musuh Militer jepang (sekutu). hal itu sesuai dengan pengungkapan seorang informan yang pernah diwawancarai :
…..daerah ini tidak luput dari serangan pesawat terbang ketika berlangsungaya perang. banyak penduduka yang tewas waktu itu akibat serngan pesawat-pesawat tempur dari udara, disamping itu tenjadi kerusakan dirumah-rumah penduduk hamper setiap saat kampong dijatuhi Bom hingga rata dengan tanah. Adapun kampong-kampung yang terkena Bom pada saat itu antara lain ; Tanjung, Kampung Bara, Kampung Sigi, Mantro, dan Sarae. Masyarakatnya pun banyak yang mengungsi kewilayah (Kampung) lain. (H. yusuf Yasin, wawancara 27 Mei 2005)
Akibat terjadinya pengeboman pusat-pusat pemukiman penduduk, masyarakat yang mendiaminya banyak yeng tewas dan adapula sebagiaannya mengungsi. Seperti halnya masyarakat yang ada di kampong Rabangodu dan kampo rade (yang beberapa kali dijajahi Bom) terbakar dah hancur berantakan, sementara masyarakat yang ada dikampung tersebutterpaksa mengungsi untuk meyelamatkan diri ke daerah lainnya yang dianggap aman.
dampak lainnya terhentinya kegiatan pemerintahan Kesultanan Bima yang pada akhirnay yang dipindahkan dari Kota Raba ke kampong Dodu. Alasan kepindahan pusat kegiatan pemerintahan kesultanan tersebut juga diakibatkan oleh keadaan kota yang tidak mungkin untuk ditempati keran berada dalam garis pertempuran.
Pada tahun 1944, pasar Rba yang berada di pusat kota Bima, yang merupakan salah satu pusat kegiatan Ekonomi masyarakat menjadi porak-poranda (hancur) akibar serangan Bom dari udara. Dalam peristiwa itu banyak jatuh korban dak kerugian materil yang tiidak diketahui jemlahnya demikian pula dengan mesjid kesultanan Bima (yang dibangun di masa kesultanan Abdul kadim pada tahun 1773 dan sekarang bernama mesjid Sultan Muhammad Salahudiin Bima) tidak luput dari serangan pesawat-pesawat yane melintasinya “peristiwa ini hanya meninggalkan puing-puing mesjud kesultanan berupa penutup Mihrab Mesjid yang masih dapat disaksikan sampai sekarang” Tajib (1995 :325). meskipun demikian peristiwa ini tidak menelan korban nyawa (penduduk) seperti halnya ketika pemboman terhadap pasar Raba Bima yang berada tepat dijantung kota Bima.
Dalam tahun 1944 inipula, keadaan dimedan pereng tampak berbalik, pihak Jepang selalu diserang dan didesak oleh pihak Sekutu. Hal ini sesuai di paparkan oleh Tajib:
…mulai dari tahun 1944 keadaan perang tampak berbalik arah, pihak Jepang semakin terdesak oleh serangan-serangan yang dilaancarkan oleh pasukan Sekutu, hingga akhirnya pada Bulan Juni 1945 pulau Akinawa berhasil diduduki oleh tentara sekutu dan juga Tokyo menjadi sasaran pesawat B29.
Ditengan keadaan yang semakin terjepit itu, tentar Jepang tetap menjalankan praktek penduduknnya di Bima hingga manyarakatpun hidup lebih menderita , belum lagi ancaman Bom dari tentara-tentara sekutu. Akibat dari kondisi yang demikian, tidak jarang masyarakat Bima terpaksa menegnakan pakaian yang terbuat dari karung “Goni”, sementara bahan makanna yang dikonsumsi iallah Nasi jagung, keladi gatal dan isi batang pisang yang serba terbatas, dalam keadaan seperti ini banyak pula sebagian daripada mereka yang meninggal Karen akelaparan. Sementara wabah penakit malaria yang kerap menyerang masyarakat, dan juga berbagai jenis penyakit julit, seperti kurap, kadas dan Koreng yang kmeudian menjadi penyakit Epidemi yng disebabkan dari pencemaran dari zat-zat kima yang dikeluakan dari esnjata dan Bom-bom, disamping itu jugga, tidak tersedianya Air bersih dan sabun yang dapat digunakan untuk membersihkan badan (mandi).
Berbagai tindakan Eksploitasipu akhirnya dapat diakhiri setelah penyerahan ynapa syarat Jepan gpaad sekutu paad tangga 14 Agustus 1945. Penyerahan ini disertai dengan instruksi penghentian seluruh aktivitas tembak-menembbak dan berbagai praktek pendudukan Jepang di Indonesia (termasuk Bima). Atas kekalah itulah, maka jepang kemudian ditugaskan untuk memepertahankan status Quo atas wilayah-wilayah yang didudukinya sambiil menuggu tentara sekutu untuk mengambil alih pemerintahan.
setelah berita kekalah Jepang tersebut tersiar dan diketahui oleh masyarakat Bima, maka beberapa tokoh masyarakat inipun menghadap kepada Mayor Jenderal Tanaka sebagai panglima tetinggi pemerintahan Militer Jepng di Sumbawa timur agar segera menyerahkan kembali tampuk pemerintahan dan kekuasaa kepada Kesultanan Bima. Sejak saat itu,maka berakhirlah satu fase kehidupan yang serba susah dan menderita begi manyarakat Bima hingga measuki masa kemrdekaan pada tangga 30 Agudtus 1945 yang ditandai dengan dilakukannya bendera merah putih dihalaman Istana Kesultanan Bima.







KESIMPULAN

Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan, ada tiga hal pokok yang dapat disimpulkan seuai dengan permasalahan yang dijawab dalam penulisan ini yakni sebagai berikut :
Gerak pemerintahan pendudukan Jepang di bima memilik kesamaan dengan daerah-daerah laindi Indonesia Dallam arti bahwa kedatangannya dibalut dengan janji-janji manis yang didesain sebagai propaganda kepada masyarakat Bima (Misalnya ingin membebaskan masyarakat masyarakat Bima dari unsur bangsa Barat-Belanda), sehingga awal kedatangannya (17 Juli 1942 dibawah pimpinan Kolonel Sito) tidak dicurigai dan bahkan mendapat sambutan yang baik. Hal itu didukung pula olah situasi ketika itu. Masyarakat Bima trauma terhadap penjajahan Belanda, meskipun sebelum kedatangan Belanda, Belanda telah berhasil diusir dari tanah Bima “Mbojo” berkat usaha dari laskarnya.
Meskipun pada awal kedatangannya disambut baik (simpati) oleh masyarakat Bima, namun memasuki bulan kedua masa pemerintahan pendudukannya, tampak adanya motovasi dan keinginan jepang yang sesungguhnya (dalam rangka mencitakan persemakmuran Asia Timur Raya) melaui praktek pendudukannya berupa kerja Wajib (Romusha). Romusha ini ditujukan untuk menghimpun sumber daya alam yang ada guna mendukung kelengkapan dan strategi Jepang menghadapi sekutu di Asia tenggara pada perang “Dai Toa No Senso” (Asia Timur Raya).
Praktek pendudukan pemerintahan jepang di Bima telah menumbulkan berbagai dampak bagi kehidupan social dan Ekonomi masyarakat. Dibidang social diantaranya terjadi keresahan social dan porak-porandanya tata kehidupan social masyarakat. Agama dan adat yang selama ini dijunjung tinggi olah masyarakat “terpaksa” harus dilanggar. Sementara dapak dibidang Ekonomi, berupa keterpurukkan Ekomomi, sebab masyarakat tidak lagi mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mrngolah lahan pertaniannya. Penderitaan masyarakat berakhir setelah Jepang Kalah dan menyerah tanpa syarat kepad sekutu pada bulan Agistus 1945. Sejak itu, pemerintahan pendudukan Jepangpun berakhir di Bima khususnya dan Indonesia pada Umumnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung, 1999, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Adams, Cindy, 1986, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. (terjemahan Abdul Barsalim). Jakarta; Gunung Agung.
Djumhur, I.H. Danusaputro, 1974, Sejarah Pendidikan. Bandung: Ilmu Bandung.
Gottschalk, Louis, 1986, Mengerti Sejarah (Ter. Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press
Guan, Kwang Chang, 2000, “ Manfaat Kesaksian Lisan: Teks dan Kelisanan Dalam Rekonstruksi Masa Lampau” Dalam P. Lim Pui Huen (ed), Sejarah Lisan Asia Tenggara: Teori dan metode (ter. R.Z. Leirissa). Jakarta: LP3LS (hlm. 35-60)
Ismail, M. hillir, 1996, Sejarah Mbojo Bima: Dari Zaman Naka Sampai Zaman Kemerdekaan. Bima-NTB : Agung Perdana
Kahin, George Mc. Turnan, 1990, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan
Kartodirjo, Sartono, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia
Kertaparti, Sidik, 2000, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Pustaka Pena
Khaldun, Ibnu, 1982, Mukadimah Ibnu Khaldun: Suatu Pendahuluan. Jakarta : Faizan
Kontjaraningrat ,1993, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kuntowijoya, 1994, Metodologi Sejarah. Yogyakarta; Tiara Wacana
Kutoyo, Sutrisno, 1985, Prof. H. Muhammad Yamin SH, Jakarta: Depdikbud
Leirissa, R.Z, 1997, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Grafiti
Loir, Hendry Chambert dan Siti maryam R.S, 1999, Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Loir, Hendry Chambert, 2004 Kerajaan Bima: Dalam Sastra Dan Sejarah: Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Notosusanto, Nugroho, At All, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Depdikbud
Ricklefs, M.C, 1995, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: UGM Press
Sagimun M.D, 1989, MAS TRIP: Dari Brigade Pertempuran Ke Brigade Pertempuran. Jakarta ; Bina Aksara
Samudra, Putra at all (ed) 1999, Bunga Rampai Pengembangan Budaya Bima. Aditya Media- FP3DM (hlm. 13-80)
Subantarjo, 1962, Sari Sejarah Asia-Australia. Jakarta: Bobkri
Subiyono, ibnu, 1993, Metodologi Penelitian. Jakarta: Universitas Gunadharma
Tajib, Abdullah, 1995, Sejarah Bima-Dana Mbojo, Jakarta: Sinar harapan PGRI
Wheller, Kheit, 1986, Perang Dunia II (terjemahan Widya Martaya) Jakarta: Tiara Pustaka


LAMPIRAN
Kawasan Bukit Tonggorisa (KBT) Bima
dan
Gua-gua hasil kerja para Rhomusha
















Gua Tiga Mulut di Tonggondoa









Bagian dalam Gua tiga mulut








Kawasan Nggaro Lembo.(Nggembe). merupakan pusat konsentrasi Pemukiman Militer Jepang di Sila





Rade (kuburan, Benteng) Nippo di Rade Pali Bontokape Sila





RIWAYAT HIDUP PENULIS
Yusuf H. AHMAD, merupakan Putra Kelahiran Bima NTB, buah pasangan Hadijah M.T dengan H. Ahmad H.M yang terlahir pada 10 Desember 1982. Alumnus Jurusan pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar Tahun 2005 ini mencoba memberanikan diri maju selengkah demi tercapainya suatu cita-cita dalam diri untuk menjadi seorang penulis.
Selama menjalani proses perkuliahan, penulis aktif diberbagai organisasi Ekstra dan Intra Kampus antara lain: KAMMI Cab UNM, HIMA SEJARAH, HIPPMASI MAKASSAR, HMB Cab UNM dan FLAMBOYAN TEATRE SEJARAH.
Pada saat sekarang, Putra Pesisir Barat Teluk Bima (Dusun Jala Desa Nggembe) ini aktif sebagai tenaga Edukative di STKIP TAMAN SISWA KAB BIMA dan dipercayakan sebagai Ketua Jurusan S1 Pendidikan Sejarah, serta mengajar di Jurusan Sejarah STKIP YAPIS Dompu.
Walau dalam kenyataannya penulis masih bayi dalam hal mengelola suatu Program Studi di perguruan tinggi, namun tekat penulis untuk memajukan program studi yang dimaksud sangat kuat, karya ini merupakan salah satu wujud kerja keras penulis demi tercapainya kemajuan tersebut.
Penulis persembahkan karya perdana ini untuk dua orang Putra cilik yang senantiasa membanggakan: YUSMI PUTRA BILMANA dan YUSMI PUTRA SULHAM semoga langkah ini menjadi patokan dasar yang hendak di kembangkan.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SwT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, salam dan shalawat tetap tercurah kepada junjungan NabiAllah, Muhammad Saw, yang senantiasa menjadi petunjuk dalam mengarungi kehidupan dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang benderang.
“Matahari Terbit di Doro Londa 1942-1945” merupakan hasil penelitian dengan judul asli “Bima pada masa Pendudukan Jepang (Kajian Sejarah Sosial Ekonomi 1942-1945)”.
Karena kurangnya sumber-sumber bacaan sejarah di kalangan mehasiswa Bima lebih-lebih mahasiswa jurusan sejarah STKIP Taman Siswa Bima, maka langkah ini penulis ambil sebagai suatu langkah Antisipatif.
Penulis juga menyadari akan suatu kekurangan baik dalam bentuk tulisan maupun penggunaan bahasanya, oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan yang dimaksud. Penulis juga tidak lupa menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya tulisan ini, baik bantuan yang bersifat moril maupun material.
Ucapan-ucapan terimakasih tersebut tidak lupa saya ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Idris Arif, Ms (Rektor Universitas Negeri Makassar) yang telah memberikan kesempatan bagi penulis menimba ilmu di bumi Anging Mamiri (Makassar), Juga berturut turut untuk Bapak Drs. Amiruddin, Mpd (Dekan FIS), Bapak Drs. Muh Rasyid Ridha M. Hum (Kajur Pend. Sejarah), Bapak Drs. H. M. Saleh Majid, Mpd (Aji Sile) Yang menjadi dosen Pembimbing II bagi penulis ketika Kuliah sekaligus juga Pembina HMB (Himpunan Mahasiswa Bima-UNM) dalam periode kepengurusan penulis, Bapak Drs H. Burhanuddin P (Pembimbing I), Bapak Drs La Malihu M. Hum (Sang Eksekutor berhati Dewa Penolong), Bapak Drs Sumaryanto, Msi (Si Cerewet Untuk kemajuan), Bapak Dr Mustari Bosra, M.Ag, yang selalu pantas untuk Penulis kenang “Saat dikursi Panas ujian Skripsi”, Lain dari pada itu juga, Bpk Drs Muslimin AR Effendi M. Hum (Dou Parado ma ganteng), Bpk Jumadi, Spd Msi (Seniorku, juga Dosenku).
Tidak lupa pula Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Ayahanda H. Ahmad H. Mansyur (Sang petani Tulen merangkap nelayan), Ibunda Hadijah M. Taher (Alm), yang tiap hari banting tulang peras keringat demi tercapainya gelar kesarjanaan bagi penulis, demikian pula untuk saudara-saudara dan ipar-iparku; Mas’ah, Fatimah, Syakban Ramadhan, St. Hajar, Benjal, A.Bakar, Anhar Jobo dan Rahmah (saudara), M. saleh, Purwono, Pertiwi, Kasman, Rosidah, Syarifuddin (Ipar).
Untuk Istriku tercinta “Putri Imaniar” (NURMI) dukungan dan Do`a sucimu selalu kuharapkan guna menjadi spirit dalam hidupku. Untuk Dua Jagoanku “Yusmi Putra Bilmana” dan “Yusmi Putra Sulham” Menangis yang keras ya Nak, Janganlah ragu Tinjulah Congkaknya Dunia dengan kepalan mungilmu (Pinjam : Iwan Falls).
Sementara untuk Yayasan Taman Siswa Bima, Bpk Drs H. Sudirman Ismail (Ketua) ”jasa ita wati loa di nefa ba mada”. Bpk Drs. H. Abd Wahab M. Tahir (Ketua STKIP TS Bima)” ita rau aji, wati loa di nefa ba mada Taho adeta bimbing mada, Bpk Drs Mahfud (KABAG TU) “Lembo ade sa`e karawi keseta”, Bpk Dedy Rosadi Spd, Gufran, Spd, Damhuji M.Pd” mari kita sama-sama membangun STKIP TS Kab Bima “, Pak Doel “lembo ade rau ta sa`e”.
Untuk rekan-rekan KAPRODI; Eka Ilham, SPd (B. Inggris), M. Yusuf S.Pd (Matematika), Suherman, Spd (Olah raga), Nur Istiqomah (Fisika), “ Ayo kita ciptakan yang baru untuk kemajuan STKIP TS Bima”, sementara untuk segenap Dosen STKIP TS, Sobat dan Shohibku (Furqan, Spd, Asrul Rahman, Ssos, Abd Bari, Spd, Mulyadi, Spd, Alamsyah Prabu, Surahmi, Spd, Srimulyati, Spd, Pak Se`o, Pak Maman, Mpd, Pak moa, sao dan juga kaka tati) “maita karawi kasama diru`u ba kampus STKIP Taman Siswa Bima.
Untuk Rekan-rekan Alumni SMU1 BOLO Angkatan Millenium, especially my best friends; they are Miss Ida, Rusdin, Manton, Saiful, Dae Nai (Junaid), Prima, Andi Andriti, Sri, Yati, Hasnah, Marni and many others.
Untuk Mahasiswa-mahasiswaku dan terkhusus program studi pendidikan sejarah STKIP TS Bima “Belajarlah yang giat supaya tidak dipandang remeh, Gunakan pikiran untuk anlisis dan kritis, agar kelak tidak di iris”. Singkat kata kepada semua unsur yang membantu terselesainya penulisan ini saya ucapkan banyak terimakasih dan kepada penerbit yang telah bersedia menerbitkan tulisan ini “Sungguh bantuanmu tidak mampu terbalaskan oleh jasa-jasaku, engkaulah obor penerang jalanku kelak”.

Bima,10 September 2009

Penulis

SEKAPUR SIRIH
“Matahari Terbit di Doro Londa” menggambarkan tentang bagaimana prilaku pendudukan Militer Jepang di Bima. Judul (Matahari Terbit di Doro Londa) ini sengaja diambil sebagai istilah/perlambangan daripada pendudukan Militer Jepang di Bima oleh karena Matahari Terbit sangat identik dengan Jepang, lain dari pada itu pengambilan istilah Matahari Terbit terinspirasi dari karya H.J. Benda “Bulan Sabit Matahari Terbit” yang mengisahkan tentang bagaimana perlawanan Islam di Indonesia (Madura) terhadap Jepang. Sementara Doro Londa merupakan salah satu gunung yang ada di Bima yang banyak kalangan masih menyebutnya sebagai “Dana Mbari” (Tanah Petuah) pengambilan nama Doro Londa pun tidak terlepas dari identitas penulis sendiri yang menempati daerah di pesisir barat Teluk Bima dimana ditiap pagi sewaktu sekolah (SD, SMP dan SMA) dulu selalu melihat matahari terbit di Doro Londa sebagai landasan waktu untuk ke sekolah, hal ini dikarenakan penulis pada masa itu turut membantu orang tua yang ikut menjala ikan di Teluk Bima. lain daripada itu pula nama Doro Londa ini diambil oleh karena rasa penasaran penulis yang tidak kesampaian hingga sekarang ini untuk ikut berlayar bersama KM Doro Londa yang pada waktu (2002) itu berlayar dari Makassar menuju Jakarta.
Semoga buku kecil Matahari Terbit di Doro Londa yang ada di Tangan Saudara sekarang ini dapat memberikan sedekit gambaran tentang masa pendudukan Jepang di Bima.


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR PENULIS……………………....i
SEKAPUR SIRIH ...…………………………………...vii
DAFTAR ISI ……………………………………………ix
BAGIAN I
DORO LONDA ……………………………………. …..1
A. Sekilas daerah Bima ………………………………. 1
Kondisi geografis ………………………………. ….1
Keadaan kemasyarakatan ………………………... 4
B. Kesultanan Bima sebelum
Pendudukan Jepang ……………………………... 11
C. Kehidupan sosial ekonomi
Bima sebelum pendudukan Jepang …………… 29
BAGIAN II
MATAHARI TERBIT ………………………………...41
A. Kehadiran Militer Jepang ………………………. 41
B. Pendudukan Militer Jepang di Indonesia ……. 47
C. Pendudukan Militer Jepang Di Bima …………. 67


BAGIAN III
REAKSI SULTAN DAN MASYARAKAT BIMA TERHADAP PENDUDUKAN MILITER JEPANG..88
BAGIAN IV
DAMPAK PENDUDUKAN MILITER JEPANG
DI BIMA ……………………………………………... 104
A. Kehidupan sosial ……………………………….. 106
B. Kondisi perekonomian ………………………… 113
KESIMPULAN ……………………………………… 126
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN




Y.H. AHMAD

MATAHARI TERBIT
DI
DORO LONDA
(1942-1945)



KERJASAMA DENGAN
STKIP TAMAN SISWA KAB. BIMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap Tinggalkan Pesan ya Mas,Mba,bu,pa,om,non dll